Jumat, 02 November 2012

Turunnya Allah Ke Langit Dunia Pada Sepertiga Malam Akhir


Bagaimana menjawab pertanyaan seseorang yang berkata: “Anda mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir. Berarti ketika itu Allah meninggalkan Arsy? Selain itu sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi”
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjawab:
Yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir itu adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam sabda beliau:
ينزل ربنا تبارك وتعالى إلى السماء الدنيا كل ليلة حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول: من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه، من يستغفرني فأغفر له، حتى ينفجر الفجر
Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam akhir. Ia lalu berkata: ‘Barangsiapa yang berdoa, akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni. Hingga terbit fajar‘ ” (HR. Bukhari 1145, Muslim 758)
Hadits ini disepakati keshahihannya. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud nuzul (turun) di sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Tidak ada yang mengetahui bagaimana bentuk turunnya kecuali Allah. Allah Ta’ala turun ketika Ia menginginkannya, dan ini tidak berarti ketika itu Arsy kosong, karena sifat nuzul di sini adalah nuzul yang layak bagi Allah Jalla Jalaluhu.
Juga masalah sepertiga malam akhir itu tidak sama waktunya di semua belahan bumi, nuzul Allah itu khusus bagi Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya sedikitpun, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Allah Jalla Jalaluhu juga berfirman:
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (QS. Thaha: 110)
Allah Azza Wa Jalla juga berfirman dalam ayat kursi:
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء
Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Baqarah: 255)
Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Hanya Allah yang tahu bagaimana bentuk nuzul-Nya. Yang wajib bagi kita adalah menetapkan sifat nuzul bagi Allah sesuai apa yang layak bagi-Nya, dalam keadaan Ia berada di atas Arsy. Karena yang dimaksud nuzul di sini adalah sifat nuzul yang layak bagi Allah bukan sebagaimana kita turun. Yaitu jika seseorang turun dari suatu tempat yang tinggi, maka tempat tersebut akan kosong. Atau jika seseorang turun dari mobil maka mobil tersebut akan kosong. Ini adalah qiyas (analogi) yang rusak. Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya. Dan tidak menyerupai sifat makhluk-Nya sedikitpun.
Sebagaimana juga kita mengatakan, Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan kita tidak tahu bagaimana bentuk istiwa tersebut. Janganlah kita menyerupakan atau memisalkan istiwa Allah tersebut dengan istiwa makhluk. Yang benar, kita katakan bahwa Allah beristiwa di atas Arsy sesuai sifat istiwa yang layak bagi-Nya dan keagungan-Nya.
Ketika orang-orang berbicara mengenai hal ini tanpa hak (ilmu), mereka jadi sangat bingung. Bahkan terkadang mereka cenderung mengingkari sifat Allah seluruhnya. Sampai-sampai ada yang berkata: “Allah itu tidak di dalam alam semesta dan tidak di luar alam semesta, tidak begini dan tidak begitu”. Sampai mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat yang maknanya ketidak-adaan dan hingga mengingkari keberadaan Allah. Oleh karena itu para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mengikuti mereka, menetapkan sifat-sifat Allah sesuai nash-nash Al Kitab dan As Sunnah. Mereka berkata, tidak ada yang mengetahui kaifiyah (deskripsi) dari sifat-sifat Allah kecuali Allah Ta’ala. Oleh karena itu Imam Malik rahimahullah berkata:
الاستواء معلوم، والكيف مجهول، والإيـمان به واجب والسؤال عنه بدعة
Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak ada yang mengetahui. Mengimaninya wajib dan bertanya tentangnya itu bid’ah”
yang beliau maksud adalah bertanya tentang kaifiyah-nya. Semisal itu juga, apa yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiallahu’anha dan juga dari Rabi’ah bin Abi Abdirrahman (guru Imam Malik), mereka berkata:
الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول والإيـمان بذلك واجب
Istiwa itu maknanya sudah dipahami orang-orang. Adapun kaifiyah-nya tidak bisa dibayangkan. Mengimaninya wajib”
Barangsiapa yang berpegang pada kaidah ini, ia akan selamat dari berbagai syubhat yang banyak dan juga dari keyakinan-keyakinan Ahlul Batil. Cukup bagi kita menetapkan apa yang datang dari nash-nash Qur’an dan Sunnah, tanpa menambah-nambah.
Maka kita katakan, Allah itu memiliki sifat mendengar, berfirman, melihat, marah, ridha sesuai dengan sifat yang layak bagi-Nya dan tidak ada yang mengetahui kaifiyah-Nya kecuali Allah. Inilah jalan yang selamat, jalan ilmu, yaitu madzhab salafus shalih. Ia adalah madzhab yang a’lam, aslam wa ahkam. Dengan jalan ini, seorang mukmin selamat dari syubhat, penyimpangan, dengan perpegang pada Qur’an dan Sunnah, dan menyerahkan kaifiyah sifat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu Waliyut Taufiq.
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4233

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab

Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.
Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.
Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?
Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »
“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)
Cadar Adalah Budaya Islam
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
1.     Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
2.     Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab An Nuur: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Penukilan pendapat-pendapat para ulama di atas merupakan kesungguhan dari akhi Ahmad Syabib dalam forum Fursanul Haq (http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=83503)
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Makmum Wajib Baca Al-Fatihah

Tanya:
Apa hukumnya membaca alfatihah bagi makmum ketika sholat berjamaah.
“Deni” <deni.chihuy@gmail.com>
Jawab:
Yang benar dari pendapat-pendapat di kalangan ulama adalah bahwa wajib atas makmum untuk membaca Al-Fatihah berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Ash-Shamit dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca al-fatihah.”
Dan hadits ini berlaku umum mencakup imam dan makmum, serta mencakup shalat jahriyah dan sirriyah. Juga berdasarkan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
مَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَصَلاَتُهُ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ
“Barangsiapa yang tidak membaca al-fatihah maka shalatnya kurang, tidak sempurna.”
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Anas dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
أَتَقْرَؤُوْنَ خَلْفَ الْإِمَامِ وَالْإِمَامُ يَقْرَأُ ؟ فَقَالُوا: إِنَّا لَنَفْعَلُ. قَالَ: لاَ تَفْعَلُوا, لِيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فِي نَفْسِهِ
“Apakah kalian membaca di belakang imam sementara imam sedang membaca? “ mereka menjawab, “Ia kami betul melakukannya.” Maka beliau bersabda, “Jangan kalian lakukan itu, tapi hendaknya salah seorang di antara kalian membaca al-fatihah dalam dirinya (yakni: secara sir, pent.).” Sanadnya hasan
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wa alihi wasallam- bersabda:
وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Dan jika dia (imam) membaca maka diamlah kalian.”
Maka hadits ini telah dinyatakan cacat (lemah) oleh sebagian huffazh (para ulama pakar hafalan hadits) bahwa dia adalah hadits yang syadz. Lagipula hadits ini kandungannya umum sehingga maknanya dikhususkan oleh hadits-hadits yang telah berlalu yang semuanya menunjukkan wajibnya membaca al-fatihah.
[Diterjemah dari jawaban Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam di:
http://www.olamayemen.com/show_fatawa13.html]

Nama-Nama Al-Fatihah dan Turunnya

Tafsir Al-Fatihah
Makkiah dan Jumlah Ayatnya Tujuh
Turun Setelah Surah Al-Muddatstsir
Bismillahirrahmanirrahim
Nama-Nama Al-Fatihah
1. Fatihah (pembuka) al-kitab, yakni pembuka kitab dalam bentuk tulisan (mushaf). Dan dengannyalah bacaan-bacaan dalam shalat dimulai.
2. Ummu (induk) al-kitab dan ummu al-qur`an, karena makna-makna Al-Qur`an semuanya kembali kepada kandungan surah al-fatihah ini.
3. As-sab’ul matsani (tujuh ayat yang berulang) dan Al-Qur`an Al-Azhim. Telah tsabit dalam hadits yang shahih riwayat At-Tirmizi -dan dia menyatakannya shahih- dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعالَمِيْنَ: أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتابِ وَالسَّبْعُ الْمَثانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيْمُ
“Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (al-fatihah) adalah induk Al-Qur`an, induk al-kitab, tujuh ayat yang berulang, dan Al-Qur`an Al-Azhim.”
4. Dinamakan juga ‘al-hamdu’.
5. Dan juga ‘ash-shalah’, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (yang beliau riwayatkan) dari Rabbnya:
قُسِمَتِ الصَّلاةُ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ. فَإذا قالَ الْعَبْدُ: اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعالَمِيْنَ, قالَ اللهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي
“Shalat dibagi antara Aku dengan hamba-Ku. Jika hamba mengatakan, “Alhamdulillahi Rabbil alamin,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku,” sampai akhir hadits.
Maka di sini al-fatihah dinamakan shalat karena membacanya merupakan syarat syah di dalam shalat.
6. Dinamakan juga asy-syifa (kesembuhan). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari Abu Said secara marfu’:
فاتِحَةُ الْكِتابِ شِفاءٌ مِنْ كُلِّ سُمٍّ
“Fatihah al-kitab adalah penyembuh dari semua bentuk racun.”
7. Dinamakan juga ar-ruqyah. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri ketika dia membacanya dalam meruqyah seorang lelaki yang terkena racun (sengatan kalajengking, pent.). Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
وَما يُدْرِيْكَ أَنَّها رُقْيَةٌ
“Dari mana kamu tahu kalau al-fatihah itu ruqyah.”
8. Juga dinamakan asas (pokok-pokok) Al-Qur`an. Berdasarkan atsar yang diriwayatkan oleh Asy-Sya’bi dari Ibnu Abbas bahwa beliau menamakannya asas Al-Qur`an. Ibnu Abbas berkata, “Dan pokok dari al-fatihah adalah bismillahirrahmanirrahim.
9. Sufyan bin Uyainah menamakannya al-waqiyah (yang menjaga).
10. Yahya bin Abi Katsir menamakannya al-kafiah (yang mencukupi). Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam beberapa hadits yang mursal, “Ummu Al-Qur`an adalah pengganti dari surah selainnya dan tidak ada satupun surah selainnya yang bisa menggantikannya.”
11. Dinamakan juga surah ash-shalah dan al-kunz (perbendaharaan). Keduanya disebutkan oleh Az-Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kasysyaf.
Turunnya
Surah Al-Fatihah turun di Makkah. Ini dikatakan oleh Ibnu Abbas, Qatadah, dan Abu Al-Aliyah. Karenanya dia adalah surah makkiah. Ada yang berpendapat: Dia adalah surah madaniah. Dan ada yang berpendapat: Al-Fatihah turun dua kali, sekali di Makkah dan sekali di Madinah.
[Bersambung insya Allah]
[Taysir Al-Ali Al-Qadir li Ikhtishar Tafsir Ibni Katsir hal. 6-7]
sumber : http://al-atsariyyah.com/nama-nama-al-fatihah-dan-turunnya.html
 

Keutamaan Al-Fatihah

Al-Bukhari berkata di dalam Ash-Shahih (3/342): Ali bin Abdillah menceritakan kepada kami (dia berkata), Yahya bin Said menceritakan kepada kami (dia berkata), Syu’bah menceritakan kepada kami (dia berkata), Khubaib bin Abdirrahman menceritakan kepadaku dari Hafsh bin Ashim dari Abu Said bin Al-Mu’alla dia berkata:
كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي قَالَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ: { اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ }
ثُمَّ قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ
“Saya pernah shalat, lalu Nabi r memanggilku tapi saya tidak menjawabnya. Kemudian saya berkata, “Wahai Rasulullah tadi saya sedang shalat,” beliau bersabda, “Bukankah Allah telah berfirman, “Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu?!” kemudian beliau bersabda, “Inginkah kamu saya ajari surah yang paling agung dalam Al-Qur`an sebelum engkau keluar dari masjid ini?” kemudian beliau memegang tanganku. Tatkala kami akan keluar, aku berkata, “Wahai Rasulullah, tadi engkau berkata, “Saya benar-benar akan mengajari  kamu sebuah surah yang paling agung dalam Al-Qur’an.” Baliau bersabda, “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin,” dia adalah tujuh ayat yang sering berulang-ulang dan merupakan Al-Qur’an yang agung, yang diberikan kepadaku.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1458), Nasa`i (2/139) dan Ibnu Majah (3785) dari beberapa jalan dari Syu’bah dengannya hadits ini.
Imam Ahmad berkata dalam Al-Musnad (4/177): Muhammad bin Ubaid menceritakan kepada kami (dia berkata), Hasyim -yakni Ibnu Al-Buraid- menceritakan kepada kami (dia berkata), Abdullah bin Muhammad bin Aqil menceritakan kepada kami dari Ibnu Jabir dia berkata:
انْتَهَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أَهْرَاقَ الْمَاءَ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَقُلْتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيَّ فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي وَأَنَا خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلَ عَلَى رَحْلِهِ وَدَخَلْتُ أَنَا الْمَسْجِدَ فَجَلَسْتُ كَئِيبًا حَزِينًا فَخَرَجَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَطَهَّرَ فَقَالَ عَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَلَيْكَ السَّلَامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَابِرٍ بِخَيْرِ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ اقْرَأْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حَتَّى تَخْتِمَهَا
“Saya sampai kepada Rasulullah r dalam keadaan beliau baru saja buang air kecil,” lalu saya berkata, “Assalamu ‘alaika ya Rasulullah,” tapi beliau tidak menjawab salamku. Saya berkata lagi, “Assalamu ‘alaika ya Rasulullah,” maka beliau tapi menjawab salamku. Saya berkata lagi, “Assalamu ‘alaika ya Rasulullah,” tapi beliau tidak menjawab salamku. Kemudian Rasulullah r berjalan dan saya ikut di belakang beliau sampai beliau masuk di rumahnya dan saya masuk ke dalam masjid lalu duduk dalam keadaan sedih dan berduka cita. Kemudian Rasulullah r keluar mendatangiku dalam keadaan beliau sudah bersuci, lalu beliau berkata, “Alaikas salam warahmatullah, waalaikas salam warahmatullah, waalaikas salam warahmatullah.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah kukabarkan kepadamu wahai Abdullah bin Jabir sebuah surat yang terbaik di dalam Al-Qur’an?” saya menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Bacalah ‘Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin’ sampai kamu menyelesaikannya.” Sanadnya hasan karena kedudukan Ibnu Aqil, dan hadits ini telah ditakhrij[1] dalam  I’laus Sunan (28).
Al-Bukhari -rahimahullah- berkata (3/248): Adam menceritakan kepada kami (dia berkata), Ibnu Abi Dzi`b menceritakan kepada kami (dia berkata), Said Al-Maqburi menceritakan kepada kami dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah r bersabda:
أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ
“Induk dari semua surah dalam Al-Qur’an (Ummul Qur`an) adalah tujuh ayat yang sering berulang dibaca dan Al-Qur’an yang agung.” Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud (1457) dan At-Tirmidzi (3124) dari jalan Ibnu Abi Dzi`b
Al-Bukhari berkata (3/342): Muhammad bin Al-Mutsanna menceritakan kepada kami (dia berkata), Wahb menceritakan kepada kami (dia berkata), Hisyam menceritakan kepada kami dari Muhammad dari Ma’bad dari Abu Said Al-Khudri dia berkata:
كُنَّا فِي مَسِيرٍ لَنَا فَنَزَلْنَا فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ فَقَالَتْ إِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ سَلِيمٌ وَإِنَّ نَفَرَنَا غَيْبٌ فَهَلْ مِنْكُمْ رَاقٍ فَقَامَ مَعَهَا رَجُلٌ مَا كُنَّا نَأْبُنُهُ بِرُقْيَةٍ فَرَقَاهُ فَبَرَأَ فَأَمَرَ لَهُ بِثَلَاثِينَ شَاةً وَسَقَانَا لَبَنًا فَلَمَّا رَجَعَ قُلْنَا لَهُ أَكُنْتَ تُحْسِنُ رُقْيَةً أَوْ كُنْتَ تَرْقِي قَالَ لَا مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِأُمِّ الْكِتَابِ قُلْنَا لَا تُحْدِثُوا شَيْئًا حَتَّى نَأْتِيَ أَوْ نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ذَكَرْنَاهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَمَا كَانَ يُدْرِيهِ أَنَّهَا رُقْيَةٌ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ
“Kami pernah bersafar lalu singgah di tengah perjalanan. Maka datang seorang budak perempuan lalu berkata, “Sesungguhnya pimpinan kampung ini tersengat oleh kalajengking sedang semua rakyat kami sudah dibuat lelah untuk mengobatinya, apakah ada di antara kalian yang bisa meruqyah?” Maka berdirilah seorang lelaki yang mana sebelumnya kami tidak pernah mengira dia bisa meruqyah. Lalu meruqyahnya dan ternyata orang itupun sembuh. Lalu pemimpin mereka memerintahkan agar kami diberi 30 ekor kambing dan memberikan kami minuman berupa susu. Tatkala yang meruqyah itu kembali, kami bertanya kepadanya, “Apakah kamu pintar meruqyah atau kamu biasa meruqyah?!” dia menjawab, “Tidak, saya tidak meruqyahnya kecuali dengan membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah).” Kami berkata, “Jangan kalian bercerita apa-apa sampai kita tiba atau hingga kita tanyakan kepada Nabi r.” Maka tatkala kami sampai di Madinah, kami menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi r, maka beliau bersabda, “Darimana dia mengetahui kalau dia (Al-Fatihah) itu adalah ruqyah? Bagilah kambing-kambing tersebut dan potongkan untukku satu bagian.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim (4/1728) dan Abu Daud (3419) dari jalan Ma’bad bin Sirin.
Muslim (1/554) dan An-Nasa`i (2/138) meriwayatkan dari jalan Ammar bin Ruzaiq dari Abdullah bin Isa dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Tatkala Jibril duduk di sisi Rasulullah r, tiba-tiba dia mendengar suara retak dari arah atas lalu dia mengangkat kepalanya, seraya berkata:
هَذَا بَابٌ مِنْ السَّمَاءِ فُتِحَ الْيَوْمَ لَمْ يُفْتَحْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَقَالَ هَذَا مَلَكٌ نَزَلَ إِلَى الْأَرْضِ لَمْ يَنْزِلْ قَطُّ إِلَّا الْيَوْمَ فَسَلَّمَ وَقَالَ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةُ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمُ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَنْ تَقْرَأَ بِحَرْفٍ مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
“Ini adalah suara salah satu pintu di langit yang baru dibuka pada hari ini, belum pernah pintu ini dibuka kecuali hari ini. Maka turunlah darinya seorang malaikat,” lalu Jibril berkata, “Ini adalah malaikat yang turun ke bumi, dia tidak pernah turun sama sekali kecuali pada hari ini,” lalu malaikat itu mengucapkan salam dan berkata, “Bergembiralah kamu wahai Muhammad dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu dan tidak pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelummu, yaitu Fatihatul Kitab (Surah Al-Fatihah) dan beberapa ayat penutup surah Al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf pun darinya kecuali pasti engkau akan mendapatkannya.”
An-Nasa`i meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra (5/12) dia berkata: Ishaq bin Ibrahim mengabarkan kepada kami (dia berkata), Sufyan -dan dia adalah Ibnu Uyainah- mengabarkan kepada kami dari Al-Ala` bin Abdirrahman bin Ya’qub dari ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda:
كُلُّ صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ فهِيَ خِدَاجٌ فهِيَ خِدَاجٌ
“Setiap shalat yang tidak dibaca padanya surah Al-Fatihah, maka itu adalah shalat yang kurang, shalat yang kurang, shalat yang kurang.”
Dia (Abdurrahman bin Ya’qub) berkata, “Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya saya terkadang menjadi makmum, (apakah saya tetap membacanya, pent)?” Abu Hurairah berkata, “Wahai orang Persia, bacalah Al-Fatihah dengan suara yang sirr,  karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah r bersabda:
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. قَالَ الْعَبْدُ: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ: حَمِدَنِي عَبْدِي. فإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِيز فإِذَا قَالَ: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ الله: مَجَّدَنِي عَبْدِي. أوْ قَالَ: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي. فَإِذَا قَالَ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ: هَذِهِ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Shalat ini (Al-Fatihah) dibagi antara Aku dengan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Jika hamba membaca, “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin”, Allah berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Jika dia membaca, “Arrahmanir rahim”, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.” Jika hamba membaca, “Maliki yaumid din”, Allah berfirman, “Hamba-Ku memuliakan-Ku.” -Atau Allah berfirman, “Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku.”- Jika hamba mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, Allah berfirman, “Ini antara Aku dengan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.”
Sufyan berkata: “Saya masuk menjenguk Al-Ala` bin Abdirrahman di rumahnya ketika dia sedang sakit, lalu saya menanyakan hadits ini kepadanya, maka dia menceritakannya padaku.”
Saya berkata: Ini adalah sanad yang shahih.

Kemudian saya mendapatkan Muslim -rahimahullah- telah meriwayatkannya (1/296) dari jalan Ishaq dengan jalan ini, dan beliau menambah di akhirnya:
فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Jika hamba membaca, “Ihdinash shiratal mustaqim. Shiratalladzina an‘amta ‘alaihim ghairil magdhubi ‘alaihim waladh dhallin,” Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.” Ibnu Majah (3784) juga telah meriwayatkannya dari jalan Abdul Aziz bin Abi Hazim dari Al-Ala` dengan jalan ini.
Kelihatannya Al-Ala` mempunyai dua orang guru dalam hadits ini: Salah satunya adalah ayahnya sendiri dan yang lainnya adalah Abu As-Saib maula Hisyam bin Zuhrah.
Malik dalam Al-Muwaththa’ (1/84) dan imam yang enam -kecuali Al-Bukhari- telah meriwayatkan hadits ini dari jalan yang kedua ini.


[1] Maksudnya: Telah disebutkan seluruh jalan-jalannya beserta para ulama yang meriwayatkannya beserta hukum atas hadits tersebut -jika dibutuhkan-, pent.
[Diterjemah dari Ar-Rauh wa Ar-Raihan fi Fadha`il wa Ahkam Al-Mashahif wa Al-Qur`an hal.36-39]
sumber : http://al-atsariyyah.com/keutamaan-al-fatihah.html

Keutamaan Shalat 5 Waktu

Shalat adalah ibadah yang agung, ibadah yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam, dan dia adalah ibadah yang terpenting setelah kedua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 19)
Shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabbnya, karena ketika shalat hamba sedang berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla guna berdoa kepada-Nya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam beliau bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya masih mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, ” Kami berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman, ‘Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.’ Maka Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiku.’ Selanjutnya Dia berkata, ‘HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan.’ Allah berkata, ‘Ini adalah antara Aku dengan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta’. Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat.’ Allah berkata, ‘Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta.” (HR. Muslim no. 598)
Shalat lima waktu mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan semua ibadah wajib lainnya, di antaranya:
a.    Shalat 5 waktu merupakan ibadah yang Allah Ta’ala syariatkan kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam secara langsung tanpa perantara malaikat. Berbeda halnya dengan kewajiban lainnya yang diwajibkan melalui perantara malaikat.
b.    Shalat 5 waktu diwajibkan di langit sementara kewajiban lainnya diwajibkan di bumi.
Karenanya sangat pantas kalau shalat 5 waktu dikatakan sebagai ibadah badan yang paling utama.
Selain dari keistimewaan di atas, shalat 5 waktu secara umum dan beberapa shalat di antaranya secara khusu mempunyai keutamaan yang lain, di antaranya:
a.    Shalat 5 waktu akan menghapuskan semua dosa dan kesalahan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)
Dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Tidaklah seorang muslim didatangi shalat fardlu, lalu dia membaguskan wudlunya dan khusyu’nya dan shalatnya, melainkan itu menjadi penebus dosa-dosanya terdahulu, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu (berlaku) pada sepanjang zaman.” (HR. Muslim no. 335)
Pada kedua hadits di atas dikecualikan dosa-dosa besar, karena memang dosa besar tidak bisa terhapus dengan sekedar amalan saleh, akan tetapi harus dengan taubat dan istighfar. Karenanya, yang dimaksud dengan dosa pada kedua hadits di atas adalah dosa-dosa kecil.
Adapun patokan dosa besar adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma:
اَلْكَبَائِرُ كُلُّ ذَنْبٍ خَتَمَهُ الله ُبِنَارٍ أَوْ لَعْنَةٍ أو غَضَبٍ أَوْ عَذَابٍ
“Dosa-dosa besar adalah semua dosa yang Allah akhiri dengan ancaman neraka atau laknat atau kemurkaan atau adzab.” (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya terhadap surah An-Najm: 32)
Walaupun asalnya ada perbedaan antara dosa besar dengan dosa kecil, akan tetapi beliau radhiallahu anhu juga pernah berkata:
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِغْفَارِ, وَلاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa besar jika selalu diikuti dengan istighfar dan tidak ada dosa kecil jika dia dilakukan terus-menerus.”
b.    Shalat subuh senantiasa dihadiri dan disaksikan oleh para malaikat dan dia juga menja
Allah Ta’ala berfirman:
أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجركان مشهودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra`: 78)
c.    Shalat ashar yang merupakan shalat wustha -sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari- dikhususkan penyebutannya dibandingkan shalat-shalat lainnya.
Dan ini menunjukkan keistimewaan shalat ashar -dari satu sisi- dibandingkan shalat lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
حافظوا على الصلوات والصلواة الوسطى
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (QS. Al-Baqarah: 238)
d.    Menjaga shalat subuh dan ashar merupakan sebab terbesar masuk surga dan selamat dari neraka.
Dari Imarah bin Ru’aibah radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (HR. Muslim no. 1003)
Dari Abu Musa radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengerjakan shalat pada dua waktu dingin, maka dia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari no. 540 dan Muslim no. 1005)
Dari Jundab bin Abdullah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Barangsiapa shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu dari kalian sebagai imbalan jaminan-Nya, sehingga Allah menangkapnya dan menyungkurkannya ke dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 1050)
Dari Jarir bin ‘Abdullah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahri dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 521 dan Muslim no. 1002)
e.    Meninggalkan shalat 5 waktu -atau salah satunya- dengan sengaja karena malas secara terus-menerus adalah kekafiran.
Allah Ta’ala berfirman:
وخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu masih mukmin, maka tentunya tidak dipersyaratkan ketika dia bertaubat dia harus beriman.
Ini dipertegas dalam hadits Jabir radhiallahu anhuma dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh, yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 116)
Juga dalam Abdullah bin Buraidah dari ayahnya radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ تَرْكُ الصَّلَاةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“(Pemisah) di antara kami dan mereka (orang kafir) adalah meninggalkan shalat, karenanya barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir.” (HR. Ahmad no. 21929)
sumber:http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat-5-waktu.html

[Masih] Keutamaan Al-Fatihah

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَ يَا أُبَيُّ فَالْتَفَتَ فَلَمْ يُجِبْهُ ثُمَّ صَلَّى أُبَيٌّ فَخَفَّفَ ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَعَلَيْكَ قَالَ مَا مَنَعَكَ أَيْ أُبَيُّ إِذْ دَعَوْتُكَ أَنْ تُجِيبَنِي قَالَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ كُنْتُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَفَلَسْتَ تَجِدُ فِيمَا أَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ أَنْ { اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ }. قَالَ قَالَ بَلَى أَيْ رَسُولَ اللَّهِ لَا أَعُودُ قَالَ أَتُحِبُّ أَنْ  أُعَلِّمَكَ سُورَةً لَمْ تَنْزِلْ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلُهَا قَالَ قُلْتُ نَعَمْ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْ هَذَا الْبَابِ حَتَّى تَعْلَمَهَا قَالَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي يُحَدِّثُنِي وَأَنَا أَتَبَطَّأُ مَخَافَةَ أَنْ يَبْلُغَ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ الْحَدِيثَ فَلَمَّا أَنْ دَنَوْنَا مِنْ الْبَابِ قُلْتُ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ مَا السُّورَةُ الَّتِي وَعَدْتَنِي قَالَ فَكَيْفَ تَقْرَأُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ أُمَّ الْقُرْآنِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي التَّوْرَاةِ وَلَا فِي الْإِنْجِيلِ وَلَا فِي الزَّبُورِ وَلَا فِي الْفُرْقَانِ مِثْلَهَا وَإِنَّهَا لَلسَّبْعُ مِنْ الْمَثَانِي
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui Ubai bin Ka’ab ketika ia sedang shalat, maka beliau memanggil; “Wahai Ubai, ” Ubai lalu menoleh meskipun tidak menjawab, kemudian Ubai segera shalat dengan cepat seraya berbegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berucap; “Assalaamu ‘Alaika ya Rasulullah, ” Rasulullah menjawab, “Wa ‘Alaika (dan keselamatan bagimu), ” lalu beliau bersabda: “Wahai Ubai, apa yang menghalangimu untuk menjawabku ketika aku panggil?” Ubai berkata; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku dalam shalat, ” beliau bersabda: “Bukankah kamu telah mendapatkan wahyu yang Allah wahyukan kepadaku, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ” Ubai berkata; “Iya wahai Rasulullah, aku tidak akan mengulanginya, ” beliau bersabda: “Apakah kamu senang jika aku ajarkan kepadamu surat yang Allah tidak menurunkan semisalnya dalam Taurat, Zabur, Injil maupun Al Furqon (Al Qur`an)?” Ubai berkata; Aku berkata; “Iya wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku sangat berharap engkau tidak keluar dari pintu ini hingga engkau mengetahuinya, ” Ubai berkata; Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggait tanganku sambil mengajakku bicara, dan aku sendiri memperlambat jalanku karena takut akan sampai ke pintu sebelum beliau selesai berbicara, maka tatkala dekat pintu aku berkata; “Wahai Rasulullah mana surat yang telah engkau janjikan kepadaku?” lalu beliau bersabda: “Apa yang engkau baca ketika shalat?” Ubai berkata; “Aku membaca surat Al fatihah.” Ubai berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidaklah Allah menurunkan dalam Taurat, Injil maupun Al Qur`an yang semisalnya, ia adalah As Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang ulang).”
Diriwayatkan juga oleh At-Tirmizi lalu dia menyebutkan haditsnya, namun dalam riwayatnya dengan lafazh:
إِنَّهَا سَبْعٌ مِنْ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُعْطِيتُهُ
“Ia adalah tujuh (ayat) yang diulang-ulang dan al-Qur`an yang agung yang diberikan padaku.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala meriwayatkan dalam kitabnya Al-Musnad dari Abu Sa’id Al Mu’alla radhiallahu anhu ia berkata:
كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ حَتَّى صَلَّيْتُ فَأَتَيْتُهُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنِي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي قَالَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ }. ثُمَّ قَالَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ أَوْ مِنْ الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَالَ نَعَمْ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ   
“Suatu saat saya sedang melaksanakan shalat, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilku, namun saya tidak menjawab panggilannya hingga shalatku selesai. Ketika aku datang, beliau pun bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku?” saya menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang shalat.” beliau bersabda: “Bukankah Allah ‘azza wajalla telah berfirman: ‘(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu…) ‘ (Qs. Al Anfaal: 24). Beliau bersabda lagi: “Sungguh, saya akan mengajarimu satu surat paling agung yang terdapat di dalam Al Qur`an, atau dari Al Qur`an sebelum kamu keluar dari Masjid.” Abu Sa’id berkata; Kemudian beliau memegang tanganku, dan saat beliau hendak keluar Masjid, saya pun berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ‘Saya akan mengajarimu surat yang paling agung yang terdapat di dalam Al Qur`an? ‘ Beliau menjawab, “Benar. Yaitu AL HAMDU LILLAHI RABBIL ‘AALAMIIN (Segala puji bagi Allah, Rabb semesta Alam). Ia adalah As Sab’u Al Matsani, dan Al Qur`an Al Azhim yang telah diwahyukan kepadaku.”
Demikian diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah dari beberapa jalan.
Hadits yang lain:
Muslim meriwayatkan dalam kitabnya Ash-Shahih dan juga An-Nasai dalam kitabnya As-Sunan dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام إِذْ سَمِعَ نَقِيضًا فَوْقَهُ فَرَفَعَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ هَذَا بَابٌ قَدْ فُتِحَ مِنْ السَّمَاءِ مَا فُتِحَ قَطُّ قَالَ فَنَزَلَ مِنْهُ مَلَكٌ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبْشِرْ بِنُورَيْنِ أُوتِيتَهُمَا لَمْ يُؤْتَهُمَا نَبِيٌّ قَبْلَكَ فَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَخَوَاتِيمِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ لَمْ تَقْرَأْ حَرْفًا مِنْهُمَا إِلَّا أُعْطِيتَهُ
“Tatkala Rasulullah Shallallallahu’alaihi wasallam bersama malaikat Jibril, tiba-tiba beliau mendengar suara dari atasnya, maka Jibril mengangkat pandangannya ke langit, kemudian berkata, ‘Pintu ini telah dibuka dari langit, yang sebelumnya belum pernah dibuka’.” Ibnu Abbas berkata; “Lalu turun malaikat dan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, lantas berkata. ‘Berbahagialah dengan dua cahaya yang diberikan kepadamu, dan dua cahaya tersebut belum pernah diberikan kepada seorang nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun sebelummu, yakni: Fatihah Al Kitab dan akhir surat Al Baqarah. Kamu tidak membaca satu hurufpun dari keduanya kecuali kamu pasti akan diberi.”
Ini adalah lafazh riwayat An-Nasai dan lafazh riwayat Muslim mirip dengannya.
Hadits yang lain:
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثَلَاثًا غَيْرُ تَمَامٍ فَقِيلَ لِأَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الْإِمَامِ فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِي نَفْسِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي
وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
وَإِذَا قَالَ: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ }. قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي
فَإِذَا قَالَ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }. قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ }. قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya masih mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, ” Kami berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman, ‘Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.’ Maka Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiku.’ Selanjutnya Dia berkata, ‘HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan.’ Allah berkata, ‘Ini adalah antara Aku dengan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta’. Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat.’ Allah berkata, “Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta.”
Demikian diriwayatkan oleh An-Nasai.
[Taysir Al-Aliy Al-Qadir li Ikhtishar Tafsir Ibni Katsir: 1/7-8]
sumber :http://al-atsariyyah.com/masih-keutamaan-al-fatihah.html

Hukum Obat dan Parfum Beralkohol

Pertanyaan:
Apa hukum menggunakan obat-obatan dan wangi-wangian yang mengandung alkohol?
Abu Abdil Aziz (0815209????)
Jawab:
Adapun hukum alkoholal dijadikan campuran obat atau wangi-wangian, maka berikut jawaban dari Syaikh Yahya Al-Hajuri dan Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i:
Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajury -hafizhohullah- menjawab dengan nash sebagai berikut:
“Apabila alkohol tersebut sedikit dan larut di dalamnya sehingga tidak meninggalkan bekas sama sekali apalagi memberikan efek atau pengaruh maka itu tidaklah mengapa. Adapun apabila alcohol tersebut terdapat di dalam obat sehingga memberikan pengaruh terhadap pemakai apakah karena dosisnya di dalam obat tersebut 50% atau kurang maka hukumnya tidak boleh”.
Permasalahan ini juga telah ditanyakan kepada Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Umar bin Mar’iy Al-’Adany yang diberi gelar oleh Syaikh Yahya sebagai Faqihud Dar .
Beliau menjawab semakna dengan jawaban Syaikh Yahya di atas dan beliau menambahkan, “Dan itu sama seperti air yang masuk ke dalamnya beberapa tetes urine (air seni). Apabila air tersebut berubah dari asalnya maka air tersebut menjadi najis dan apabila air seni tersebut tidak mengubah dan tidak memberikan pengaruh terhadapnya maka air tersebut tetap pada hukum asalnya”.
Dan beliau (Syaikh ‘Abdurrahman) juga pernah ditanya dengan nash pertanyaan berikut:
“Darimana kita bisa mengetahui bahwa alkohol tersebut sudah terurai dengan zat yang lain ?”
Beliau menjawab:
“(Diketahui) dengan salah satu dari dua perkara (berikut) :
1. Kita menerapkan kaidah yang berbunyi “Apa-apa yang dalam jumlah banyak memabukkan maka dalam jumlah sedikit juga haram”. Maka minyak wangi ini (yang bercampur dengan alkohol-pent.) jika dalam jumlah banyak bisa memabukkan maka dalam jumlah kecil juga tidak boleh menjualnya, tidak boleh membelinya, dan tidak boleh menggunakannya. Dan yang nampak bahwa hal tersebut berjenjang, karena di antara minyak wangi ini ada yang terdapat alkohol di dalamnya dengan kadar 15 %, di antaranya ada yang 2 % dan di antaranya ada yang 6 %, yang jelas inilah kaidah yang difatwakan oleh para ulama.
2. Dengan meneliti minyak wangi ini melalui cara-cara penelitian modern. Jika diketahui dengannya bahwa alkohol ini tidak menyatu dengan zat minyak wangi maka boleh menggunakannya, jika tidak diketahui maka tidak (boleh).
(Adapun) Obat-obatan yang mengandung alkohol, maka rinciannya seperti rincian pada minyak wangi (di atas).
Dan yang nasihatkan adalah meninggalkan penggunaan minyak wangi dan obat-obatan yang terdapat alkohol di dalamnya”.
sumber :http://al-atsariyyah.com/hukum-obat-dan-parfum-beralkohol.html

Hukum Islam Kepada Para Koruptor

Beliau pernah memotong tangan orang yang mencuri sebuah perisai yang harganya 3 dirham.(1)
Beliau juga pernah menetapkan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kalau hasil curiannya kurang dari ¼ dinar. (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684), Malik (2/832), At-Tirmidzi (1445) dan Abu Daud (4383) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.)
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda, “Potonglah tangan pada pencurian senilai ¼ dinar, dan jangan kalian memotong kalau nilainya di bawah dari itu.” Disebutkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. (HR. Ahmad (6/80) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dengan sanad yang kuat)
Aisyah -radhiallahu anha- berkata, “Tidak pernah ada pemotongan tangan pencuri di zaman Rasulullah r pada curian yang nilainya kurang dari harga perisai, tameng dan setiap dari benda ini mempunyai nilai.” (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684) dan Malik dalam Al-Muwaththa` (2/832))
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda, “Allah melaknat pencuri yang mencuri seutas tali lalu tangannya dipotong, dan yang mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong.” (HR. Al-Bukhari (12/94), Muslim (1687) dan An-Nasa`i (8/65))
Ada yang mengatakan: Yang dimaksud di sini adalah tali tambang kapal sedangkan telur maksudnya adalah besi. Ada yang mengatakan: Bahkan yang dimaksud adalah semua tali dan telur. Ada yang mengatakan: Ini adalah pengabaran terhadap sebuah kenyataan yang pernah terjadi, maksudnya: Dia mencuri barang itu lalu mengakibatkan tangannya dipotong karena pencurian kecil itu mengantarkannya untuk mencuri barang yang lebih besar nilainya daripada itu. Al-A’masy berkata, “Mereka (para tabi’in) menganggap yang dimaksud di situ adalah besi putih sedangkan tali adalah tali yang setara harganya dengan beberapa dirham.”
Beliau menghukumi seorang perempuan yang pernah meminjam perhiasan lalu dia tidak mengakuinya, dengan memotong tangannya.(2)
Ahmad -rahimahullah- berpendapat dengan hukum ini (3) dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Beliau r menghukumi menggugurkan hukum potong tangan dari al-muntahib (mencuri dari harta ghanimah), al-mukhtalis (perampas), dan al-kha`in (4), dan yang dimaksud dengan al-kha`in adalah yang mengkhianati barang yang dia pinjam.
Adapun orang yang tidak mengakui barang yang dia pinjam, maka dia termasuk ke dalam golongan pencuri menurut syariat, karena tatkala para sahabat berbicara kepada Nabi r mengenai seorang perempuan yang meminjam perhiasan lalu dia mengingkarinya maka beliau memotong tangannya, dan beliau bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.”(5)
Maka beliau r menggolongkan orang yang tidak mengakui barang pinjaman ke dalam nama pencuri, sebagaimana beliau memasukkan semua jenis makanan yang memabukkan ke dalam nama khamar, maka cermatilah hal ini. Ini adalah pengenalan kepada umat mengenai apa yang Allah inginkan dari firman-Nya.
Beliau r menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan dan katsar. Beliau menetapkan bahwa siapa saja yang memakan darinya dengan mulutnya (yakni: Memakannya di atas pohon dan tidak memetiknya dari tangkainya, pent.) karena dia membutuhkannya maka tidak ada hukuman atasnya, dan barangsiapa yang keluar dengan membawanya maka dia wajib mengganti nilainya dua kali lipat dan mendapatkan hukuman. Barangsiapa yang mencuri sesuatu darinya dari dalam jarinya maka tangannya wajib dipotong kalau nilai curiannya setara dengan nilai perisai (6). Inilah keputusan tetap beliau dan hukum beliau yang adil.
Beliau menetapkan tentang kambing yang dicuri dari tempat pengembalaannya, harus diganti dengan harganya dua kali lipat dan pencurinya dipukul sebagai pelajaran. Adapun yang dicuri dari kandangnya, maka tangan pencurinya dipotong kalau nilainya setara dengan harga perisai. (HR. Ahmad (2/180), An-Nasa`i (8/86) dan Ibnu Majah (2596) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, dan sanadnya hasan)
Beliau telah menetapkan memotong tangan pencuri selendang Shafwan bin Umayyah ketika dia sedang tertidur di masjid, lalu Shafwan berniat memberikan selendang itu kepadanya atau menjualnya kepadanya, maka beliau bersabda, “Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (HR. Abu Daud (4394) dan An-Nasa`i (8/68, 69, 70) dengan sanad yang shahih)
Beliau memotong tangan pencuri yang mencuri perisai dari shaf perempuan di masjid. (HR. Ahmad (2/145), Abu Daud (4386) dan An-Nasa`i dari hadits Ibnu Umar, dan sanadnya shahih)
Beliau mencegah pemotongan seorang budak yang termasuk dari budak-budak al-khumus (7), yang dia mencuri dari al-khumus, dan beliau bersabda, “Itu adalah harta Allah yang saling mencuri antara satu sama lain.” HR. Ibnu Majah (8).
Pernah didatangkan kepada beliau seorang pencuri lalu pencuri itu mengaku akan tetapi tidak ditemukan padanya barang curian, maka beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Lalu beliau mengulangi ucapannya sebanyak dua atau tiga kali lalu beliau memerintahkan agar tangannya dipotong. (9).
Ada pencuri lain yang pernah dibawa kepada beliau lalu beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Maka beliau bersabda, “Bawalah dia lalu potonglah tangannya kemudian obatilah dia sampai darahnya berhenti mengalir kemudian bawalah dia kembali kepadaku.” Maka tangannya dipotong kemudian dia didatangkan lagi kepada Nabi r lalu beliau bersabda, “Bertaubatlah kamu kepada Allah,” maka dia berkata, “Saya bertaubat kepada Allah,” lalu beliau bersabda, “Allah telah menerima taubatmu.” (10)
Dalam riwayat At-Tirmidzi beliau bahwa beliau pernah memotong tangan seorang pencuri dan menggantungkan tangannya di atas tengkuknya. Dia (At-Tirmidzi) berkata, “Ini adalah hadits yang hasan.” (11)
Fasal
Hukum beliau -shallallahu alaihi wasallam- kepada orang yang menuduh orang lain mencuri
Abu Daud meriwayatkan dari Azhar bin Abdillah bahwa ada sebuah kaum yang kecurian barang lalu mereka menuduh sekelompok orang dari Al-Hakah yang telah mencurinya. Mereka kemudian mendatangi An-Nu’man bin Basyir sahabat Rasulullah r, maka dia memenjarakan mereka selama beberapa malam lalu setelah itu melepaskan mereka. Melihat hal itu, mereka lalu mendatanginya dan berkata, “Engkau melepaskan mereka tanpa ada pukulan dan ujian?” dia berkata, “Apa yang kalian inginkan: Jika kalian mau saya memukulnya, maka saya akan memukulnya kalau barang kalian ditemukan pada mereka, tapi jika tidak maka saya akan memukul pungung-punggung kalian sebagaimana saya memukul punggung-punggung mereka.” Maka mereka berkata, “Apa ini hukummu?” dia menjawab, “Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud (4382) dalam Al-Hudud: Bab Menguji dengan pukulan dan An-Nasa`i (8/66) dalam As-Sariq: Bab Menguji pencuri dengan pukulan, dan sanadnya kuat)
Fasal
Hukum-hukum ini mengandung beberapa perkara:
Pertama: Tidak boleh memotong tangan pencuri kalau nilai barang curiannya lebih kecil dari 3 dirham atau ¼ dinar.
Kedua: Bolehnya melaknat para pelaku dosa-dosa besar secara umum, bukan per individu. Sebagaimana beliau r telah melaknat pencuri, melaknat pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, melaknat peminum khamar dan yang memerasnya, serta melaknat orang yang melakukan amalan kaum Luth (12). Beliau melarang dari melaknat Abdullah Himar yang baru saja habis meminum khamar.
(Hadits shahih, dan takhrijnya telah berlalu pada halaman 43 (kitab asli))
Tidak ada kontradiksi antara kedua perkara ini, karena sifat yang laknat tertuju padanya mengharuskan hal tesebut. Adapun per individu maka bisa jadi ada perkara-perkara yang menghalangi sampainya laknat ini kepadanya, misalnya dia mempunyai kebaikan yang menghapuskan kesalahannya, atau taubat atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa atau ampunan dari Allah kepadanya.
Karenanya boleh melaknat jenis perbuatan tapi tidak boleh individunya.
Ketiga: Adanya arahan untuk menutup pintu-pintu dosa, karena beliau mengabarkan bahwa pencurian seutas tali dan sebutir telur tidak akan menjadikannya jera sampai tangannya dipotong.
Keempat: Memotong tangan orang yang tidak mengakui barang pinjamannya, dan dia dinamakan sebagai pencuri menurut syariat, sebagaimana yang telah berlalu.
Kelima: Orang yang mencuri harta yang nilainya tidak sampai menyebabkan tangannya dipotong maka ganti ruginya dilipatgandakan dua kali. Imam Ahmad -rahimahullah- telah menegaskan hal ini dan berkata, “Setiap orang yang hukum potong tangan gugur darinya maka ganti ruginya dilipatgandakan.” Telah berlalu hukum dari Nabi r dengan hukum ini pada dua keadaan: Pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan kambing yang ada di pengembalaannya.
Keenam: Penggabungan ta’zir dengan ganti rugi, dan ini merupakan penggabungan antara dua hukuman: Hukuman yang bersifat materi dan fisik.
Ketujuh: Diperhitungkannya penjagaan barang. Karena beliau r menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan yang masih ada di pohonnya tapi beliau mewajibkan hukum ini kepada orang yang mencurinya dari al-jarin.. Menurut Abu Hanifah, hal itu karena kekurangan hartanya akibat dari mempercepat kerusakan menimpa harta itu, dan dia menjadikan hal ini sebagai dalil dalam semua kejadian yang hartanya berkurang dengan mempercepat kerusakan menimpa harta itu. Tapi pendapat mayoritas ulama lebih tepat karena beliau r menjadikan harta itu mempunyai tiga keadaan: (1) Keadaan yang tidak ada apa-apa padanya, yaitu jika dia makan buah itu (di pohonnya) langsung dengan mulutnya. (2) Keadaan yang dia harus diganti dua kali lipat dan encurinya dipukul tanpa memotong tangannya, yaitu jika dia mengambil dan memetiknya dari pohon itu. (3) Keadaan yang tangannya dipotong karenanya, yaitu jika dia mencurinya dari baidar (tempat penyimpanan) nya, baik dia sudah kering sempurna maupun belum, karena yang menjadi patokan adalah tempat dan penjagaan, bukan kering atau masih basahnya dia. Ini ditunjukkan oleh perbuatan beliau r yang menggugurkan hukum potong tangan dari orang yang mencuri kambing dari pengembalaannya, dan beliau mewajibkan potong tangan kepada orang yang mencurinya dari kandangnya, karena itu adalah tempat penjagaannya.
Kedelapan:Penetapan adanya hukuman secara materi, yang dalam permasalahan ini ada banyak sunnah yang tsabit dan tidak ada yang menentangnya. Para khulafa ar-rasyidun dan selainnya dari kalangan sahabat m telah mengamalkannya, dan yang paling sering menerapkannya adalah Umar t.
Kesembilan: Seorang dianggap menjaga sebagai tempat penjagaan pakaian dan alas tidurnya yang dia tidur di atasnya dimanapun dia berada, baik dia tidur di masjid atau selainnya.
Kesepuluh: Masjid dianggap sebagai tempat penjagaan bagi barang-barang yang biasa di simpan di situ, karena Nabi r memotong tangan orang yang mencuri perisai darinya. Karenanya orang yang mencuri terpal, pelita dan karpet dari masjid juga harus dipotong tangannya, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad dan selainnya. Adapun ulama yang tidak mewajibkan tangannya dipotong maka dia mengatakan: Karena dia mempunyai hak padanya, karenanya jika dia tidak punya hak maka tangannya dipotong, misalnya kalau dia adalah kafir dzimmi.
Kesebelas: Meminta barang yang dicuri adalah syarat bolehnya memotong tangan, karenanya jika pemiliknya memberikannya kepada pencurinya atau menjualnya kepadanya sebelum kasusnya diangkat kepada imam, maka hukum potong tangan pun gugur. Sebagaimana yang Nabi r sebutkan dengan tegas, “Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (Hadits shahih, telah berlalu pada halaman 47 (kitab asli))
Kedua belas: Hal itu tidak menggugurkan hukum potong tangan kalau kasusnya sudah sampai kepada imam, dan demikian pula halnya dengan semua hukum had yang sudah sampai kepada imam. Telah tsabit dari beliau r akan tidak bolehnya hukum had digugurkan, dalam As-Sunan dari beliau, “Kalau hukum had sudah sampai kepada imam maka Allah melaknat yang memberikan syafaat (bantuan) dan yang diberikan syafaat (dibantu).”(13)
Ketiga belas: Orang yang mencuri dari sesuatu yang dia mempunyai hak padanya, tangannya tidak dipotong.
Keempat belas: Tangan pencuri tidak dipotong kecuali setelah dia mengakuinya sebanyak dua kali atau dengan dua orang saksi, karena pencuri tadi mengaku di sisi beliau lalu beliau bersabda, “Darimana kamu tahu kalau kamu mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri,” maka barulah ketika itu beliau memotong tangannya, dan beliau tidak memotongnya sampai beliau mengatakan kepadanya ucapan itu sebanyak dua kali.
Kelima belas: Menganjurkan kepada pencuri agar dia tidak mengaku dan agar dia menarik kembali pengakuannya. Tapi ini bukanlah hukum untuk semua pencuri, bahkan di antara pencuri ada yang nanti mengaku setelah dihukum dan diancam, sebagaimana yang akan datang insya Allah Ta’ala.
Keenam belas: wajib atas imam untuk menyembuhkannya setelah tangannya dipotong agar dia tidak mati. Dalam sabda beliau, “Sembuhkanlah dia,” ada dalil bahwa biaya perawatan bukan ditanggung oleh pencuri.
Ketujuh belas: Menggantung tangan pencuri di tengkuknya sebagai pelajaran baginya dan bagi orang lain yang melihatnya.
Kedelapan belas: Memukul orang yang menuduh jika nampak darinya tanda-tanda kedustaan. Nabi r telah memberikan hukuman kepada orang yang menuduh dan memenjarakan orang yang menuduh.
Kesembilan belas: Wajib melepaskan tertuduh jika tidak nampak darinya sesuatu pun dari yang dituduhkan kepadanya. Dan bahwa jika penuduh ridha kalau tertuduh dipukul: Jika hartanya ditemukan padanya (tertuduh) maka tidak masalah, tapi jika tidak maka dia (penuduh) harus dipukul seperti pukulan yang diberikan kepada orang yang dia tuduh kalau dia menerimanya. Ini semua bersamaan dengan adanya tanda-tanda yang kedustaan, sebagaimana yang An-Nu’man bin Basyir t putuskan dan beliau mengabarkan baha itu adalah hukum Rasulullah r .
Kedua puluh: Adanya kisas dalam hal pemukulan dengan cambuk, tongkat dan semacamnya.
Fasal
Abu Daud meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah memerintahkan untuk membunuh seorang pencuri, lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk ketiga kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk keempat kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka pun akhirnya membunuhnya.(14)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini:
An-Nasa`i dan selainnya tidak menshahihkan hadits ini. An-Nasa`i berkata, “Ini adalah hadits yang mungkar, Mush’ab bin Tsabit bukanlah rawi yang cukup kuat (laisa bil qawi).” Yang lainnya menshahihkan hadits uni dan mengatakan kalau ini adalah hukum yang khusus berlaku kepada laki-laki itu saja, tatkala Rasulullah r mengetahui adanya maslahat dengan membunuhnya. Kelompok ketiga menerima hadits ini dan berpendapat dengannya, yaitu bahwa jika seorang pencuri sudah mencuri sampai lima kali maka dia dibunuh pada pencurian yang kelima. Di antara yang berpendapat dengan mazhab ini adalah Abu Mush’ab dari kalangan Al-Malikiah.
Dalam hukum ini ada keterangan bolehnya memotong keempat anggota tubuh pencuri. Abdurazzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf: Bahwa didatangkan kepada Nabi r seorang budak yang mencuri da dia telah didatangkan kepada beliau sebanyak empat kali tapi beliau membiarkannya. Kemudian dia didatangkan pada kali kelima maka beliau memotong satu tangannya, kemudian pada kali keenam beliau memotong satu kakinya, kemudian pada kali ketujuh beliau memotong tangannya yang lain, kemudian pada kali kedelapan beliau memotong kakinya yang lain.(15)
Para sahabat dan para ulama setelah mereka berbeda pendapat dalam hal: Apakah semua anggota tubuhnya boleh dipotong atau tidak? Ada dua pendapat:
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad -dalam salah satu riwayat- berkata: Boleh dipotong semuanya. Sedangakan Abu Hanifah dan Ahmad -dalam riwayat kedua- berkata: Tidak boleh dipotong melebihi dari satu tangan dan satu kaki. Dibangun di atas pendapat ini, apakah yang terlarang adalah (1) menghilangkan fungsi anggota tubuh yang sejenis atau (2) menghilangkan dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama? Dalam masalah ini ada dua sisi, yang akan nampak pengaruhnya dalam masalah: Jika yang tangan yang terpotong hanyalah yang kanan saja, atau kaki yang terpotong hanyalah yang kiri saja. Kalau kita mengatakan: Boleh memotong semua anggota tubuhnya maka hal ini tidak berpengaruh. Tapi jika kita mengatakan: Tidak boleh memotong semuanya, maka pada bentuk pertama yang dipotong adalah kaki kirinya dan pada bentuk kedua yang dipotong adalah tangan kanannya berdasarkan kedua sebab di atas. Jika yang terpotong adalah tangan kiri bersama kaki kanan maka dia tidak dipotong berdasarkan kedua sebab di atas, dan jika yang dipotong adalah tangan kiri saja, maka tangan kanannya tidak potong berdasarkan kedua sebab di atas. Dan ini kurang tepat maka cermatilah.
Apakah pemotongan kaki kiri dibangun di atas kedua sebab di atas? Jika kita menjadikan hilangnya manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya boleh dipotong, tapi jika kita menjadikan hilangnya dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama sebagai sebab maka kakinya tidak boleh dipotong.
Jika yang terpotong hanyalah kedua tangan dan kita menjadikan hilangnya manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya kirinya dipotong, tapi jika yang kita jadikan sebab adalah hilangnya dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama maka tidak boleh dipotong. Ini adalah penerapan kaidah ini. Pengarang Al-Hurrar berkata dalam masalah ini, “Tangan kanannya dipotong berdasarkan kedua riwayat. Dan harus dibedakan antara dia dengan masalah orang yang terpotong kedua tangannya. Yang disebutkan dalam perbedaannya: Kalau yang terpotong adalah kedua kakinya maka dia seperti orang yang duduk, dan jika yang dipotong adalah salah satu tangannya maka dia bida memanfaatkan tangan yang satunya untuk makan, minum, berwudhu, istijmar dan selainya. Kalau yang terpotong adalah kedua tangannya maka dia tidak bisa menggunakan anggota tubuhnya kecuali kedua kakinya, karenanya jika salah satu kakinya tidak ada maka tidak mungkin baginya untuk menggunakan satu kaki tanpa tangan. Di antara perbedaannya: Satu tangan bisa dimanfaatkan bersamaan dengan tidak adanya manfaat berjalan, sedangkan satu kaki tidak bisa bermanfaat tanpa adanya manfaat menyentuh.”
____________
1.    HR. Al-Bukhari (12/93, 94) dalam Al-Hudud: Bab firman Allah Ta’ala, “Pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan-tangan keduanya,” Muslim (1686) dalam Al-Hudud: Bab Hukum had pencurian dan nishabnya, Malik (2/831), At-Tirmidzi (1446), Abu Daud (4385) dan An-Nasa`i (8/76) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-
2.    HR. Abu Daud (4395) dalam Al-Hudud: Bab Pemotongan tangan karena barang pinjaman yang tidak diakui, An-Nasa`i (8/70) dalam As-Sariq: Bab Apa yang merupakan penjagaan dan apa yang bukan dan Ahmad (2/151) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ash-Shahih (1688) (10) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Ada seorang perempuan Makhzumiah yang meminjam sebuah perhiasan lalu dia tidak mau mengakuinya, maka Nabi r memerintahkan untuk memaotong tangannya.”
3.    Dan ini juga merupakan pendapat Ishak bin Rahawaih sebagaimana dalam Syarh As-Sunnah (10/322)
4.    HR. Abu Daud (4391), At-Tirmidzi (1448), An-Nasa`i (8/89) dan Ibnu Majah (2591) dari hadits Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhuma-. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih,” dan telah dishahihkan oleh Ibnu hibban (1502, 1503) dan Abdul Haq mendiamkannya dalam Al-Ahkam karyanya dan diikuti oleh Ibnu Al-Qaththan setelahnya, yang mana ini berrati hadits ini shahih menurut keduanya.
5.    HR. Al-Bukhari (12/76) dalam Al-Hudud: Bab Penegakan hukum had kepada orang yang terpandang dan rakyat rendahan dan Muslim (1688) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.
6.    HR. Abu Daud (1710, 1711, 1712, 1713, 4390), An-Nasa`i (8/65, 86) dan Ahmad (6683, 6746) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dengan sanad yang shahih. Dalam permasalahan ini ada juga hadits dari Rafi’ bin Khadij dalam Al-Muwaththa` (2/839), At-Tirmidzi (1449), Abu Daud (4388) dan Ibnu Majah (2593) dengan lafazh, “Tidak ada pemotongan tangan pada buah-buahan dan katsar,” dan haditsnya shahih. Al-katsar adalah mayang pohon korma, sedangkan al-jarin adalah tempat buah-buahan yang dia dikeringkan di dalamnya, seperti al-baidar untuk gandum.
7.    Dia adalah seperlima dari keseluruhan harta ghanimah, yang diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, pent.
8.    HR. Ibnu Majah (2590) dari hadits Ibnu Abbas, dan dalam sanadnya ada Jubarah bin Al-Mughallis dan Hajjaj bin Tamim, dan keduanya adalah rawi yang lemah.
9.    HR. Abu Daud (4380), An-Nasa`i (8/67) dan Ibnu Majah (2597) dari hadits Abu Umayyah Al-Makhzumi, dan dalam sanadnya ada Abu al-Mundzir maula Abu Dzar, seorang rawi yang majhul, dan rawi lainnya tsiqah.
10.    HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/381) dari hadits Ad-Darawardi dari Yaziz bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Abu Hurairah …, lalu dia (Al-Hakim) menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. Akan tetapi Ad-Daraquthni berkata (2/331) -setelah dia meriwayatkan hadits ini-, “Ats-Tsauri telah meriwayatkannya dari Yazid bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Nabi r secara mursal.” Demikian pula Abu Daud meriwayatkannya dalam Al-Marasil dari Ats-Tsauri secara mursal. Abdurrazzaq meriwayatkannya (18923) dia berkata, “Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri secara mursal,” dan Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkannya dalam Gharib Al-Hadits dia berkata, “Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari Yazid bin Khushaifah dengannya secara mursal.”
11.    HR. Abu Daud (4411), At-Tirmidzi (1447), An-Nasa`i (892, 93) dan Ibnu Majah (2587) dari hadits Fudhalah bin Ubaid, dan dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Artha`ah, seorang rawi yang sangat banyak kesalahan dan tadlisnya, serta Abdurrahman bin Muhairiz, tidak ada yang mentautsiqnya kecuali Ibnu Hibban.
12.    Hadits tentang laknat kepada pencuri diriwayatkan oleh Al-Bukhari (12/71, 72) dan Muslim (1687). Hadits tentang laknat kepada pemakan riba diriwayatkan oleh Al-Bukhari (10/330) dan Muslim (1597). Hadits tentang laknat kepada peminum khamar dan yang memerasnya, diriwayatkan oleh Ahmad (5716), Abu Daud (3674) dan Ibnu Majah (3380) dari hadits Ibnu Umar dengan sanad yang shahih. Hadits tentang laknat kepada orang yang melakukan amalan kaum Luth , diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (1/217, 309, 317) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
13.    Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari pengarang As-Sunan, dia hanya diriwayatkan dalam Al-Muwaththa` (2/835) dari Rabiah bin Abi Abdirrahman bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam …
14.    HR. Abu Daud (4410) dalam Al-Hudud: Pencuri yang telah mencuri berulang kali dan An-Nasa`i (8/90, 91) dalam As-Sariq: Bab Memotong kedua tangan dan kedua kaki pencuri dari hadits Jabir bin Abdillah. Dalam sanadnya ada Mush’ab bin Tsabit, seorang rawi yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nasa`i dan selainnya. Al-Hafizh berkata dalam At-Talkhish, “Saya tidak mengetahui ada satu pun hadits yang shahih dalam masalah ini.”
15.    HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (18773) dan Al-Baihaqi (8/273) dari hadits Ibnu Juraij dia berkata: Abdu Rabbih bin Abi Umayyah mengabarkan kepadaku bahwa Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabiah menceritakan kepadanya bahwa Nabi r … . Abdu Rabbih adalah seorang rawi yang majhul, sedangkan riwayat Al-Harits bin Abdillah dari Nabi r adalah mursal.
[Diterjemah dari kitab Zadul Ma'ad karya Ibnu Al-Qayyim hal. 689-692]
sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-islam-kepada-pencuri-koruptor-perampok-penjambret-dkk.html

Hujan Dalam Syariat Islam

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini radhiallahu anhu dia berkata:
صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin kami shalat subuh di Hudaibiah di atas bekas-bekas hujan yang turun pada malam harinya. Setelah selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda, “Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “(Allah berfirman), “Subuh hari ini ada hamba-hambaKu yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang berkata, “Hujan turun kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya,” maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata, “(Hujan turun disebabkan) bintang ini atau itu,” maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Al-Bukhari no. 1038)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat hujan, maka beliau berdoa, “ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI’AN (Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang deras lagi bermanfaat).” (HR. Al-Bukhari no. 1032)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللَّهُ لَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي الْأَرْحَامِ وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ الْمَطَرُ
“Ada lima kunci ghaib yang tidak diketahui seorangpun kecuali Allah: Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari, tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang terdapat dalam rahim, tidak ada satu jiwapun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok, tidak ada satu jiwapun yang tahu di bumi mana dia akan mati, dan tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan.” (HR. Al-Bukhari no. 1039)
Penjelasan ringkas:
Hujan adalah nikmat dan anugerah dari Allah yang dengannya Dia memberikan keutamaan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya. Allah Ta’ala berfirman:
وأنزل من السماء ماءً فأخرج به من الثمرات رزقاً لكم
“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian.” (QS. Al-Baqarah: 22)
Dan juga pada firman-Nya:
وهو الذي ينزل الغيث من بعد ما قنطوا وينشر رحمته
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan Dia menyebarkan rahmat-Nya.” (QS. Asy-Syuraa: 28)
Di antara manfaat turunnya hujan adalah:
1.    Sebab adanya rezki.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam surah Al-Baqarah di atas.
2.    Hidupnya bumi.
Allah Ta’ala berfirman:
وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها
“Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya.” (QS. Al-Baqarah: 164)
3.    Sebagai penyuci dalam thaharah.
Allah Ta’ala berfirman:
وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به
“Dan Dia menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu.” (QS. Al-Anfal: 11)
4.    Untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup di bumi.
Allah Ta’ala berfirman:
هو الذي أنزل من السماء ماءً لكم منه شرابٌ ومنه شجرٌ فيه تُسيمون
“Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kalian, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kalian mengembalakan ternak kalian.” (QS. An-Nahl: 10)
Karenanya, menyandarkan sebab turunnya hujan kepada selain Allah – baik itu kepada bintang tertentu atau kepada masuknya bulan tertentu atau kepada selain-Nya – merupakan perbuatan mengkafiri nikmat dan merupakan perbuatan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Karenanya, sudah sepantasnya manusia menyandarkan turunnya hujan itu hanya kepada Allah, karena tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan kecuali Allah semata. Adapun bintang-bintang atau masuknya bulan tertentu maka itu hanyalah sekedar waktu dimana Allah Ta’ala menurunkan nikmat-nikmatNya kepada para hamba pada waktu tersebut, mereka bukanlah sebagai sebab apalagi jika dikatakan mereka yang menurunkan hujan.
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm mengomentari hadits Zaid bin Khalid di atas, “Barangsiapa yang mengatakan ‘hujan diturunkan kepada kita karena bintang ini dan itu’ -sebagaimana kebiasaan pelaku syirik- dimana mereka memaksudkan menyandarkan sebab turunnya hujan kepada bintang tertentu, maka itu adalah kekafiran sebagaimana yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sabdakan. Karena munculnya bintang (atau bulan, pent.) adalah waktu, sementara waktu adalah makhluk yang tidak memiliki apa-apa untuk dirinya dan selainnya. Dan siapa yang mengatakan ‘hujan diturunkan kepada kita karena bintang ini’ dalam artian ‘hujan diturunkan kepada kita ketika munculnya bintang ini’, maka ucapan ini bukanlah kekafiran, akan tetapi ucapan selainnya lebih saya senangi.”
Tatkala turunnya hujan terkadang bisa membawa manfaat dan terkadang bisa mendatangkan mudharat, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam mengajari umatnya agar meminta kepada Allah hujan yang mendatangkan manfaat setiap kali hujan turun. Di antara keterangan yang menunjukkan bahwa hujan terkadang membawa bencana dan siksaan adalah firman Allah Ta’ala:
فكلاً أخذنا بذنبه فمنهم من أرسلنا عليه حاصباً ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من خسفنا به الأرض ومنهم من أغرقنا
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan.” (QS. Al-Ankabut: 40)
Juga pada firman-Nya:
فأعرضوا فأرسلنا عليهم سيل العرم
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar.” (QS. Saba`: 16)
Waktu turunnya hujan termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah semata. Karenanya, barangsiapa yang mengklaim mengetahui waktu turunnya hujan atau mengklaim bisa menurunkan hujan atau mengklaim bisa menahan turunnya hujan (pawang hujan) maka dia telah terjatuh ke dalam kekafiran dan kesyirikan berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak yang menjelaskan kafirnya makhluk yang mengklaim mengetahui perkara ghaib.
Sebab-sebab umum turunnya hujan:
1.    Ketakwaan kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
2.    Istighfar dan taubat dari dosa-dosa.
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh bahwa beliau berkata:
فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفاراً. يرسل السماء عليكم مدراراً
“Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat.” (QS. Nuh: 10-11)
3.    Istiqamah di atas syariat Allah.
Allah Ta’ala mengabarkan:
وألّوِ استقاموا على الطريقة لأسقيناهم ماءًً غدقاً
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar.” (QS. Al-Jin: 16)
4.    Istisqa`, baik sekedar berdoa maupun diiringi dengan shalat sebagaimana yang telah kami jelaskan pada artikel shalat istisqa`.

Comments system

Disqus Shortname