Jumat, 02 November 2012

Hukum Islam Kepada Para Koruptor

Beliau pernah memotong tangan orang yang mencuri sebuah perisai yang harganya 3 dirham.(1)
Beliau juga pernah menetapkan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kalau hasil curiannya kurang dari ¼ dinar. (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684), Malik (2/832), At-Tirmidzi (1445) dan Abu Daud (4383) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.)
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda, “Potonglah tangan pada pencurian senilai ¼ dinar, dan jangan kalian memotong kalau nilainya di bawah dari itu.” Disebutkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. (HR. Ahmad (6/80) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dengan sanad yang kuat)
Aisyah -radhiallahu anha- berkata, “Tidak pernah ada pemotongan tangan pencuri di zaman Rasulullah r pada curian yang nilainya kurang dari harga perisai, tameng dan setiap dari benda ini mempunyai nilai.” (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684) dan Malik dalam Al-Muwaththa` (2/832))
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda, “Allah melaknat pencuri yang mencuri seutas tali lalu tangannya dipotong, dan yang mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong.” (HR. Al-Bukhari (12/94), Muslim (1687) dan An-Nasa`i (8/65))
Ada yang mengatakan: Yang dimaksud di sini adalah tali tambang kapal sedangkan telur maksudnya adalah besi. Ada yang mengatakan: Bahkan yang dimaksud adalah semua tali dan telur. Ada yang mengatakan: Ini adalah pengabaran terhadap sebuah kenyataan yang pernah terjadi, maksudnya: Dia mencuri barang itu lalu mengakibatkan tangannya dipotong karena pencurian kecil itu mengantarkannya untuk mencuri barang yang lebih besar nilainya daripada itu. Al-A’masy berkata, “Mereka (para tabi’in) menganggap yang dimaksud di situ adalah besi putih sedangkan tali adalah tali yang setara harganya dengan beberapa dirham.”
Beliau menghukumi seorang perempuan yang pernah meminjam perhiasan lalu dia tidak mengakuinya, dengan memotong tangannya.(2)
Ahmad -rahimahullah- berpendapat dengan hukum ini (3) dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Beliau r menghukumi menggugurkan hukum potong tangan dari al-muntahib (mencuri dari harta ghanimah), al-mukhtalis (perampas), dan al-kha`in (4), dan yang dimaksud dengan al-kha`in adalah yang mengkhianati barang yang dia pinjam.
Adapun orang yang tidak mengakui barang yang dia pinjam, maka dia termasuk ke dalam golongan pencuri menurut syariat, karena tatkala para sahabat berbicara kepada Nabi r mengenai seorang perempuan yang meminjam perhiasan lalu dia mengingkarinya maka beliau memotong tangannya, dan beliau bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.”(5)
Maka beliau r menggolongkan orang yang tidak mengakui barang pinjaman ke dalam nama pencuri, sebagaimana beliau memasukkan semua jenis makanan yang memabukkan ke dalam nama khamar, maka cermatilah hal ini. Ini adalah pengenalan kepada umat mengenai apa yang Allah inginkan dari firman-Nya.
Beliau r menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan dan katsar. Beliau menetapkan bahwa siapa saja yang memakan darinya dengan mulutnya (yakni: Memakannya di atas pohon dan tidak memetiknya dari tangkainya, pent.) karena dia membutuhkannya maka tidak ada hukuman atasnya, dan barangsiapa yang keluar dengan membawanya maka dia wajib mengganti nilainya dua kali lipat dan mendapatkan hukuman. Barangsiapa yang mencuri sesuatu darinya dari dalam jarinya maka tangannya wajib dipotong kalau nilai curiannya setara dengan nilai perisai (6). Inilah keputusan tetap beliau dan hukum beliau yang adil.
Beliau menetapkan tentang kambing yang dicuri dari tempat pengembalaannya, harus diganti dengan harganya dua kali lipat dan pencurinya dipukul sebagai pelajaran. Adapun yang dicuri dari kandangnya, maka tangan pencurinya dipotong kalau nilainya setara dengan harga perisai. (HR. Ahmad (2/180), An-Nasa`i (8/86) dan Ibnu Majah (2596) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, dan sanadnya hasan)
Beliau telah menetapkan memotong tangan pencuri selendang Shafwan bin Umayyah ketika dia sedang tertidur di masjid, lalu Shafwan berniat memberikan selendang itu kepadanya atau menjualnya kepadanya, maka beliau bersabda, “Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (HR. Abu Daud (4394) dan An-Nasa`i (8/68, 69, 70) dengan sanad yang shahih)
Beliau memotong tangan pencuri yang mencuri perisai dari shaf perempuan di masjid. (HR. Ahmad (2/145), Abu Daud (4386) dan An-Nasa`i dari hadits Ibnu Umar, dan sanadnya shahih)
Beliau mencegah pemotongan seorang budak yang termasuk dari budak-budak al-khumus (7), yang dia mencuri dari al-khumus, dan beliau bersabda, “Itu adalah harta Allah yang saling mencuri antara satu sama lain.” HR. Ibnu Majah (8).
Pernah didatangkan kepada beliau seorang pencuri lalu pencuri itu mengaku akan tetapi tidak ditemukan padanya barang curian, maka beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Lalu beliau mengulangi ucapannya sebanyak dua atau tiga kali lalu beliau memerintahkan agar tangannya dipotong. (9).
Ada pencuri lain yang pernah dibawa kepada beliau lalu beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Maka beliau bersabda, “Bawalah dia lalu potonglah tangannya kemudian obatilah dia sampai darahnya berhenti mengalir kemudian bawalah dia kembali kepadaku.” Maka tangannya dipotong kemudian dia didatangkan lagi kepada Nabi r lalu beliau bersabda, “Bertaubatlah kamu kepada Allah,” maka dia berkata, “Saya bertaubat kepada Allah,” lalu beliau bersabda, “Allah telah menerima taubatmu.” (10)
Dalam riwayat At-Tirmidzi beliau bahwa beliau pernah memotong tangan seorang pencuri dan menggantungkan tangannya di atas tengkuknya. Dia (At-Tirmidzi) berkata, “Ini adalah hadits yang hasan.” (11)
Fasal
Hukum beliau -shallallahu alaihi wasallam- kepada orang yang menuduh orang lain mencuri
Abu Daud meriwayatkan dari Azhar bin Abdillah bahwa ada sebuah kaum yang kecurian barang lalu mereka menuduh sekelompok orang dari Al-Hakah yang telah mencurinya. Mereka kemudian mendatangi An-Nu’man bin Basyir sahabat Rasulullah r, maka dia memenjarakan mereka selama beberapa malam lalu setelah itu melepaskan mereka. Melihat hal itu, mereka lalu mendatanginya dan berkata, “Engkau melepaskan mereka tanpa ada pukulan dan ujian?” dia berkata, “Apa yang kalian inginkan: Jika kalian mau saya memukulnya, maka saya akan memukulnya kalau barang kalian ditemukan pada mereka, tapi jika tidak maka saya akan memukul pungung-punggung kalian sebagaimana saya memukul punggung-punggung mereka.” Maka mereka berkata, “Apa ini hukummu?” dia menjawab, “Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud (4382) dalam Al-Hudud: Bab Menguji dengan pukulan dan An-Nasa`i (8/66) dalam As-Sariq: Bab Menguji pencuri dengan pukulan, dan sanadnya kuat)
Fasal
Hukum-hukum ini mengandung beberapa perkara:
Pertama: Tidak boleh memotong tangan pencuri kalau nilai barang curiannya lebih kecil dari 3 dirham atau ¼ dinar.
Kedua: Bolehnya melaknat para pelaku dosa-dosa besar secara umum, bukan per individu. Sebagaimana beliau r telah melaknat pencuri, melaknat pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, melaknat peminum khamar dan yang memerasnya, serta melaknat orang yang melakukan amalan kaum Luth (12). Beliau melarang dari melaknat Abdullah Himar yang baru saja habis meminum khamar.
(Hadits shahih, dan takhrijnya telah berlalu pada halaman 43 (kitab asli))
Tidak ada kontradiksi antara kedua perkara ini, karena sifat yang laknat tertuju padanya mengharuskan hal tesebut. Adapun per individu maka bisa jadi ada perkara-perkara yang menghalangi sampainya laknat ini kepadanya, misalnya dia mempunyai kebaikan yang menghapuskan kesalahannya, atau taubat atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa atau ampunan dari Allah kepadanya.
Karenanya boleh melaknat jenis perbuatan tapi tidak boleh individunya.
Ketiga: Adanya arahan untuk menutup pintu-pintu dosa, karena beliau mengabarkan bahwa pencurian seutas tali dan sebutir telur tidak akan menjadikannya jera sampai tangannya dipotong.
Keempat: Memotong tangan orang yang tidak mengakui barang pinjamannya, dan dia dinamakan sebagai pencuri menurut syariat, sebagaimana yang telah berlalu.
Kelima: Orang yang mencuri harta yang nilainya tidak sampai menyebabkan tangannya dipotong maka ganti ruginya dilipatgandakan dua kali. Imam Ahmad -rahimahullah- telah menegaskan hal ini dan berkata, “Setiap orang yang hukum potong tangan gugur darinya maka ganti ruginya dilipatgandakan.” Telah berlalu hukum dari Nabi r dengan hukum ini pada dua keadaan: Pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan kambing yang ada di pengembalaannya.
Keenam: Penggabungan ta’zir dengan ganti rugi, dan ini merupakan penggabungan antara dua hukuman: Hukuman yang bersifat materi dan fisik.
Ketujuh: Diperhitungkannya penjagaan barang. Karena beliau r menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan yang masih ada di pohonnya tapi beliau mewajibkan hukum ini kepada orang yang mencurinya dari al-jarin.. Menurut Abu Hanifah, hal itu karena kekurangan hartanya akibat dari mempercepat kerusakan menimpa harta itu, dan dia menjadikan hal ini sebagai dalil dalam semua kejadian yang hartanya berkurang dengan mempercepat kerusakan menimpa harta itu. Tapi pendapat mayoritas ulama lebih tepat karena beliau r menjadikan harta itu mempunyai tiga keadaan: (1) Keadaan yang tidak ada apa-apa padanya, yaitu jika dia makan buah itu (di pohonnya) langsung dengan mulutnya. (2) Keadaan yang dia harus diganti dua kali lipat dan encurinya dipukul tanpa memotong tangannya, yaitu jika dia mengambil dan memetiknya dari pohon itu. (3) Keadaan yang tangannya dipotong karenanya, yaitu jika dia mencurinya dari baidar (tempat penyimpanan) nya, baik dia sudah kering sempurna maupun belum, karena yang menjadi patokan adalah tempat dan penjagaan, bukan kering atau masih basahnya dia. Ini ditunjukkan oleh perbuatan beliau r yang menggugurkan hukum potong tangan dari orang yang mencuri kambing dari pengembalaannya, dan beliau mewajibkan potong tangan kepada orang yang mencurinya dari kandangnya, karena itu adalah tempat penjagaannya.
Kedelapan:Penetapan adanya hukuman secara materi, yang dalam permasalahan ini ada banyak sunnah yang tsabit dan tidak ada yang menentangnya. Para khulafa ar-rasyidun dan selainnya dari kalangan sahabat m telah mengamalkannya, dan yang paling sering menerapkannya adalah Umar t.
Kesembilan: Seorang dianggap menjaga sebagai tempat penjagaan pakaian dan alas tidurnya yang dia tidur di atasnya dimanapun dia berada, baik dia tidur di masjid atau selainnya.
Kesepuluh: Masjid dianggap sebagai tempat penjagaan bagi barang-barang yang biasa di simpan di situ, karena Nabi r memotong tangan orang yang mencuri perisai darinya. Karenanya orang yang mencuri terpal, pelita dan karpet dari masjid juga harus dipotong tangannya, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad dan selainnya. Adapun ulama yang tidak mewajibkan tangannya dipotong maka dia mengatakan: Karena dia mempunyai hak padanya, karenanya jika dia tidak punya hak maka tangannya dipotong, misalnya kalau dia adalah kafir dzimmi.
Kesebelas: Meminta barang yang dicuri adalah syarat bolehnya memotong tangan, karenanya jika pemiliknya memberikannya kepada pencurinya atau menjualnya kepadanya sebelum kasusnya diangkat kepada imam, maka hukum potong tangan pun gugur. Sebagaimana yang Nabi r sebutkan dengan tegas, “Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (Hadits shahih, telah berlalu pada halaman 47 (kitab asli))
Kedua belas: Hal itu tidak menggugurkan hukum potong tangan kalau kasusnya sudah sampai kepada imam, dan demikian pula halnya dengan semua hukum had yang sudah sampai kepada imam. Telah tsabit dari beliau r akan tidak bolehnya hukum had digugurkan, dalam As-Sunan dari beliau, “Kalau hukum had sudah sampai kepada imam maka Allah melaknat yang memberikan syafaat (bantuan) dan yang diberikan syafaat (dibantu).”(13)
Ketiga belas: Orang yang mencuri dari sesuatu yang dia mempunyai hak padanya, tangannya tidak dipotong.
Keempat belas: Tangan pencuri tidak dipotong kecuali setelah dia mengakuinya sebanyak dua kali atau dengan dua orang saksi, karena pencuri tadi mengaku di sisi beliau lalu beliau bersabda, “Darimana kamu tahu kalau kamu mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri,” maka barulah ketika itu beliau memotong tangannya, dan beliau tidak memotongnya sampai beliau mengatakan kepadanya ucapan itu sebanyak dua kali.
Kelima belas: Menganjurkan kepada pencuri agar dia tidak mengaku dan agar dia menarik kembali pengakuannya. Tapi ini bukanlah hukum untuk semua pencuri, bahkan di antara pencuri ada yang nanti mengaku setelah dihukum dan diancam, sebagaimana yang akan datang insya Allah Ta’ala.
Keenam belas: wajib atas imam untuk menyembuhkannya setelah tangannya dipotong agar dia tidak mati. Dalam sabda beliau, “Sembuhkanlah dia,” ada dalil bahwa biaya perawatan bukan ditanggung oleh pencuri.
Ketujuh belas: Menggantung tangan pencuri di tengkuknya sebagai pelajaran baginya dan bagi orang lain yang melihatnya.
Kedelapan belas: Memukul orang yang menuduh jika nampak darinya tanda-tanda kedustaan. Nabi r telah memberikan hukuman kepada orang yang menuduh dan memenjarakan orang yang menuduh.
Kesembilan belas: Wajib melepaskan tertuduh jika tidak nampak darinya sesuatu pun dari yang dituduhkan kepadanya. Dan bahwa jika penuduh ridha kalau tertuduh dipukul: Jika hartanya ditemukan padanya (tertuduh) maka tidak masalah, tapi jika tidak maka dia (penuduh) harus dipukul seperti pukulan yang diberikan kepada orang yang dia tuduh kalau dia menerimanya. Ini semua bersamaan dengan adanya tanda-tanda yang kedustaan, sebagaimana yang An-Nu’man bin Basyir t putuskan dan beliau mengabarkan baha itu adalah hukum Rasulullah r .
Kedua puluh: Adanya kisas dalam hal pemukulan dengan cambuk, tongkat dan semacamnya.
Fasal
Abu Daud meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah memerintahkan untuk membunuh seorang pencuri, lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk ketiga kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk keempat kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka pun akhirnya membunuhnya.(14)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini:
An-Nasa`i dan selainnya tidak menshahihkan hadits ini. An-Nasa`i berkata, “Ini adalah hadits yang mungkar, Mush’ab bin Tsabit bukanlah rawi yang cukup kuat (laisa bil qawi).” Yang lainnya menshahihkan hadits uni dan mengatakan kalau ini adalah hukum yang khusus berlaku kepada laki-laki itu saja, tatkala Rasulullah r mengetahui adanya maslahat dengan membunuhnya. Kelompok ketiga menerima hadits ini dan berpendapat dengannya, yaitu bahwa jika seorang pencuri sudah mencuri sampai lima kali maka dia dibunuh pada pencurian yang kelima. Di antara yang berpendapat dengan mazhab ini adalah Abu Mush’ab dari kalangan Al-Malikiah.
Dalam hukum ini ada keterangan bolehnya memotong keempat anggota tubuh pencuri. Abdurazzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf: Bahwa didatangkan kepada Nabi r seorang budak yang mencuri da dia telah didatangkan kepada beliau sebanyak empat kali tapi beliau membiarkannya. Kemudian dia didatangkan pada kali kelima maka beliau memotong satu tangannya, kemudian pada kali keenam beliau memotong satu kakinya, kemudian pada kali ketujuh beliau memotong tangannya yang lain, kemudian pada kali kedelapan beliau memotong kakinya yang lain.(15)
Para sahabat dan para ulama setelah mereka berbeda pendapat dalam hal: Apakah semua anggota tubuhnya boleh dipotong atau tidak? Ada dua pendapat:
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad -dalam salah satu riwayat- berkata: Boleh dipotong semuanya. Sedangakan Abu Hanifah dan Ahmad -dalam riwayat kedua- berkata: Tidak boleh dipotong melebihi dari satu tangan dan satu kaki. Dibangun di atas pendapat ini, apakah yang terlarang adalah (1) menghilangkan fungsi anggota tubuh yang sejenis atau (2) menghilangkan dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama? Dalam masalah ini ada dua sisi, yang akan nampak pengaruhnya dalam masalah: Jika yang tangan yang terpotong hanyalah yang kanan saja, atau kaki yang terpotong hanyalah yang kiri saja. Kalau kita mengatakan: Boleh memotong semua anggota tubuhnya maka hal ini tidak berpengaruh. Tapi jika kita mengatakan: Tidak boleh memotong semuanya, maka pada bentuk pertama yang dipotong adalah kaki kirinya dan pada bentuk kedua yang dipotong adalah tangan kanannya berdasarkan kedua sebab di atas. Jika yang terpotong adalah tangan kiri bersama kaki kanan maka dia tidak dipotong berdasarkan kedua sebab di atas, dan jika yang dipotong adalah tangan kiri saja, maka tangan kanannya tidak potong berdasarkan kedua sebab di atas. Dan ini kurang tepat maka cermatilah.
Apakah pemotongan kaki kiri dibangun di atas kedua sebab di atas? Jika kita menjadikan hilangnya manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya boleh dipotong, tapi jika kita menjadikan hilangnya dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama sebagai sebab maka kakinya tidak boleh dipotong.
Jika yang terpotong hanyalah kedua tangan dan kita menjadikan hilangnya manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya kirinya dipotong, tapi jika yang kita jadikan sebab adalah hilangnya dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama maka tidak boleh dipotong. Ini adalah penerapan kaidah ini. Pengarang Al-Hurrar berkata dalam masalah ini, “Tangan kanannya dipotong berdasarkan kedua riwayat. Dan harus dibedakan antara dia dengan masalah orang yang terpotong kedua tangannya. Yang disebutkan dalam perbedaannya: Kalau yang terpotong adalah kedua kakinya maka dia seperti orang yang duduk, dan jika yang dipotong adalah salah satu tangannya maka dia bida memanfaatkan tangan yang satunya untuk makan, minum, berwudhu, istijmar dan selainya. Kalau yang terpotong adalah kedua tangannya maka dia tidak bisa menggunakan anggota tubuhnya kecuali kedua kakinya, karenanya jika salah satu kakinya tidak ada maka tidak mungkin baginya untuk menggunakan satu kaki tanpa tangan. Di antara perbedaannya: Satu tangan bisa dimanfaatkan bersamaan dengan tidak adanya manfaat berjalan, sedangkan satu kaki tidak bisa bermanfaat tanpa adanya manfaat menyentuh.”
____________
1.    HR. Al-Bukhari (12/93, 94) dalam Al-Hudud: Bab firman Allah Ta’ala, “Pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan-tangan keduanya,” Muslim (1686) dalam Al-Hudud: Bab Hukum had pencurian dan nishabnya, Malik (2/831), At-Tirmidzi (1446), Abu Daud (4385) dan An-Nasa`i (8/76) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-
2.    HR. Abu Daud (4395) dalam Al-Hudud: Bab Pemotongan tangan karena barang pinjaman yang tidak diakui, An-Nasa`i (8/70) dalam As-Sariq: Bab Apa yang merupakan penjagaan dan apa yang bukan dan Ahmad (2/151) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-. Diriwayatkan juga oleh Muslim dalam Ash-Shahih (1688) (10) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Ada seorang perempuan Makhzumiah yang meminjam sebuah perhiasan lalu dia tidak mau mengakuinya, maka Nabi r memerintahkan untuk memaotong tangannya.”
3.    Dan ini juga merupakan pendapat Ishak bin Rahawaih sebagaimana dalam Syarh As-Sunnah (10/322)
4.    HR. Abu Daud (4391), At-Tirmidzi (1448), An-Nasa`i (8/89) dan Ibnu Majah (2591) dari hadits Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhuma-. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih,” dan telah dishahihkan oleh Ibnu hibban (1502, 1503) dan Abdul Haq mendiamkannya dalam Al-Ahkam karyanya dan diikuti oleh Ibnu Al-Qaththan setelahnya, yang mana ini berrati hadits ini shahih menurut keduanya.
5.    HR. Al-Bukhari (12/76) dalam Al-Hudud: Bab Penegakan hukum had kepada orang yang terpandang dan rakyat rendahan dan Muslim (1688) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.
6.    HR. Abu Daud (1710, 1711, 1712, 1713, 4390), An-Nasa`i (8/65, 86) dan Ahmad (6683, 6746) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dengan sanad yang shahih. Dalam permasalahan ini ada juga hadits dari Rafi’ bin Khadij dalam Al-Muwaththa` (2/839), At-Tirmidzi (1449), Abu Daud (4388) dan Ibnu Majah (2593) dengan lafazh, “Tidak ada pemotongan tangan pada buah-buahan dan katsar,” dan haditsnya shahih. Al-katsar adalah mayang pohon korma, sedangkan al-jarin adalah tempat buah-buahan yang dia dikeringkan di dalamnya, seperti al-baidar untuk gandum.
7.    Dia adalah seperlima dari keseluruhan harta ghanimah, yang diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, pent.
8.    HR. Ibnu Majah (2590) dari hadits Ibnu Abbas, dan dalam sanadnya ada Jubarah bin Al-Mughallis dan Hajjaj bin Tamim, dan keduanya adalah rawi yang lemah.
9.    HR. Abu Daud (4380), An-Nasa`i (8/67) dan Ibnu Majah (2597) dari hadits Abu Umayyah Al-Makhzumi, dan dalam sanadnya ada Abu al-Mundzir maula Abu Dzar, seorang rawi yang majhul, dan rawi lainnya tsiqah.
10.    HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/381) dari hadits Ad-Darawardi dari Yaziz bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Abu Hurairah …, lalu dia (Al-Hakim) menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. Akan tetapi Ad-Daraquthni berkata (2/331) -setelah dia meriwayatkan hadits ini-, “Ats-Tsauri telah meriwayatkannya dari Yazid bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Nabi r secara mursal.” Demikian pula Abu Daud meriwayatkannya dalam Al-Marasil dari Ats-Tsauri secara mursal. Abdurrazzaq meriwayatkannya (18923) dia berkata, “Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri secara mursal,” dan Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkannya dalam Gharib Al-Hadits dia berkata, “Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari Yazid bin Khushaifah dengannya secara mursal.”
11.    HR. Abu Daud (4411), At-Tirmidzi (1447), An-Nasa`i (892, 93) dan Ibnu Majah (2587) dari hadits Fudhalah bin Ubaid, dan dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Artha`ah, seorang rawi yang sangat banyak kesalahan dan tadlisnya, serta Abdurrahman bin Muhairiz, tidak ada yang mentautsiqnya kecuali Ibnu Hibban.
12.    Hadits tentang laknat kepada pencuri diriwayatkan oleh Al-Bukhari (12/71, 72) dan Muslim (1687). Hadits tentang laknat kepada pemakan riba diriwayatkan oleh Al-Bukhari (10/330) dan Muslim (1597). Hadits tentang laknat kepada peminum khamar dan yang memerasnya, diriwayatkan oleh Ahmad (5716), Abu Daud (3674) dan Ibnu Majah (3380) dari hadits Ibnu Umar dengan sanad yang shahih. Hadits tentang laknat kepada orang yang melakukan amalan kaum Luth , diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (1/217, 309, 317) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
13.    Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari pengarang As-Sunan, dia hanya diriwayatkan dalam Al-Muwaththa` (2/835) dari Rabiah bin Abi Abdirrahman bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam …
14.    HR. Abu Daud (4410) dalam Al-Hudud: Pencuri yang telah mencuri berulang kali dan An-Nasa`i (8/90, 91) dalam As-Sariq: Bab Memotong kedua tangan dan kedua kaki pencuri dari hadits Jabir bin Abdillah. Dalam sanadnya ada Mush’ab bin Tsabit, seorang rawi yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nasa`i dan selainnya. Al-Hafizh berkata dalam At-Talkhish, “Saya tidak mengetahui ada satu pun hadits yang shahih dalam masalah ini.”
15.    HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (18773) dan Al-Baihaqi (8/273) dari hadits Ibnu Juraij dia berkata: Abdu Rabbih bin Abi Umayyah mengabarkan kepadaku bahwa Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabiah menceritakan kepadanya bahwa Nabi r … . Abdu Rabbih adalah seorang rawi yang majhul, sedangkan riwayat Al-Harits bin Abdillah dari Nabi r adalah mursal.
[Diterjemah dari kitab Zadul Ma'ad karya Ibnu Al-Qayyim hal. 689-692]
sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-islam-kepada-pencuri-koruptor-perampok-penjambret-dkk.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname