Beliau pernah memotong tangan orang yang mencuri sebuah perisai yang harganya 3 dirham.(1)
Beliau juga pernah menetapkan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong
kalau hasil curiannya kurang dari ¼ dinar. (HR. Al-Bukhari (12/89),
Muslim (1684), Malik (2/832), At-Tirmidzi (1445) dan Abu Daud (4383)
dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.)
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda,
“Potonglah tangan pada pencurian senilai ¼ dinar, dan jangan kalian memotong kalau nilainya di bawah dari itu.” Disebutkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. (HR. Ahmad (6/80) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dengan sanad yang kuat)
Aisyah -radhiallahu anha- berkata,
“Tidak pernah ada pemotongan
tangan pencuri di zaman Rasulullah r pada curian yang nilainya kurang
dari harga perisai, tameng dan setiap dari benda ini mempunyai nilai.” (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684) dan Malik dalam Al-Muwaththa` (2/832))
Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda,
“Allah melaknat
pencuri yang mencuri seutas tali lalu tangannya dipotong, dan yang
mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong.” (HR. Al-Bukhari (12/94), Muslim (1687) dan An-Nasa`i (8/65))
Ada yang mengatakan: Yang dimaksud di sini adalah tali tambang kapal
sedangkan telur maksudnya adalah besi. Ada yang mengatakan: Bahkan yang
dimaksud adalah semua tali dan telur. Ada yang mengatakan: Ini adalah
pengabaran terhadap sebuah kenyataan yang pernah terjadi, maksudnya: Dia
mencuri barang itu lalu mengakibatkan tangannya dipotong karena
pencurian kecil itu mengantarkannya untuk mencuri barang yang lebih
besar nilainya daripada itu. Al-A’masy berkata, “Mereka (para tabi’in)
menganggap yang dimaksud di situ adalah besi putih sedangkan tali adalah
tali yang setara harganya dengan beberapa dirham.”
Beliau menghukumi seorang perempuan yang pernah meminjam perhiasan lalu dia tidak mengakuinya, dengan memotong tangannya.(2)
Ahmad -rahimahullah- berpendapat dengan hukum ini (3) dan tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.
Beliau r menghukumi menggugurkan hukum potong tangan dari al-muntahib
(mencuri dari harta ghanimah), al-mukhtalis (perampas), dan al-kha`in
(4), dan yang dimaksud dengan al-kha`in adalah yang mengkhianati barang
yang dia pinjam.
Adapun orang yang tidak mengakui barang yang dia pinjam, maka dia
termasuk ke dalam golongan pencuri menurut syariat, karena tatkala para
sahabat berbicara kepada Nabi r mengenai seorang perempuan yang meminjam
perhiasan lalu dia mengingkarinya maka beliau memotong tangannya, dan
beliau bersabda,
“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fathimah bintu Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.”(5)
Maka beliau r menggolongkan orang yang tidak mengakui barang pinjaman ke
dalam nama pencuri, sebagaimana beliau memasukkan semua jenis makanan
yang memabukkan ke dalam nama khamar, maka cermatilah hal ini. Ini
adalah pengenalan kepada umat mengenai apa yang Allah inginkan dari
firman-Nya.
Beliau r menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan dan
katsar. Beliau menetapkan bahwa siapa saja yang memakan darinya dengan
mulutnya (yakni: Memakannya di atas pohon dan tidak memetiknya dari
tangkainya, pent.) karena dia membutuhkannya maka tidak ada hukuman
atasnya, dan barangsiapa yang keluar dengan membawanya maka dia wajib
mengganti nilainya dua kali lipat dan mendapatkan hukuman. Barangsiapa
yang mencuri sesuatu darinya dari dalam jarinya maka tangannya wajib
dipotong kalau nilai curiannya setara dengan nilai perisai (6). Inilah
keputusan tetap beliau dan hukum beliau yang adil.
Beliau menetapkan tentang kambing yang dicuri dari tempat
pengembalaannya, harus diganti dengan harganya dua kali lipat dan
pencurinya dipukul sebagai pelajaran. Adapun yang dicuri dari
kandangnya, maka tangan pencurinya dipotong kalau nilainya setara dengan
harga perisai. (HR. Ahmad (2/180), An-Nasa`i (8/86) dan Ibnu Majah
(2596) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, dan
sanadnya hasan)
Beliau telah menetapkan memotong tangan pencuri selendang Shafwan bin
Umayyah ketika dia sedang tertidur di masjid, lalu Shafwan berniat
memberikan selendang itu kepadanya atau menjualnya kepadanya, maka
beliau bersabda,
“Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (HR. Abu Daud (4394) dan An-Nasa`i (8/68, 69, 70) dengan sanad yang shahih)
Beliau memotong tangan pencuri yang mencuri perisai dari shaf perempuan
di masjid. (HR. Ahmad (2/145), Abu Daud (4386) dan An-Nasa`i dari hadits
Ibnu Umar, dan sanadnya shahih)
Beliau mencegah pemotongan seorang budak yang termasuk dari budak-budak
al-khumus (7), yang dia mencuri dari al-khumus, dan beliau bersabda,
“Itu adalah harta Allah yang saling mencuri antara satu sama lain.” HR. Ibnu Majah (8).
Pernah didatangkan kepada beliau seorang pencuri lalu pencuri itu
mengaku akan tetapi tidak ditemukan padanya barang curian, maka beliau
bersabda,
“Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia
menjawab, “Betul saya mencuri.” Lalu beliau mengulangi ucapannya
sebanyak dua atau tiga kali lalu beliau memerintahkan agar tangannya
dipotong. (9).
Ada pencuri lain yang pernah dibawa kepada beliau lalu beliau bersabda,
“Apa
yang membuat dia mengira bahwa dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul
saya mencuri.” Maka beliau bersabda, “Bawalah dia lalu potonglah
tangannya kemudian obatilah dia sampai darahnya berhenti mengalir
kemudian bawalah dia kembali kepadaku.” Maka tangannya dipotong kemudian
dia didatangkan lagi kepada Nabi r lalu beliau bersabda, “Bertaubatlah
kamu kepada Allah,” maka dia berkata, “Saya bertaubat kepada Allah,”
lalu beliau bersabda, “Allah telah menerima taubatmu.” (10)
Dalam riwayat At-Tirmidzi beliau bahwa beliau pernah memotong tangan
seorang pencuri dan menggantungkan tangannya di atas tengkuknya. Dia
(At-Tirmidzi) berkata, “Ini adalah hadits yang hasan.” (11)
Fasal
Hukum beliau -shallallahu alaihi wasallam- kepada orang yang menuduh orang lain mencuri
Abu Daud meriwayatkan dari Azhar bin Abdillah bahwa ada sebuah kaum
yang kecurian barang lalu mereka menuduh sekelompok orang dari Al-Hakah
yang telah mencurinya. Mereka kemudian mendatangi An-Nu’man bin Basyir
sahabat Rasulullah r, maka dia memenjarakan mereka selama beberapa malam
lalu setelah itu melepaskan mereka. Melihat hal itu, mereka lalu
mendatanginya dan berkata, “Engkau melepaskan mereka tanpa ada pukulan
dan ujian?” dia berkata, “Apa yang kalian inginkan: Jika kalian mau saya
memukulnya, maka saya akan memukulnya kalau barang kalian ditemukan
pada mereka, tapi jika tidak maka saya akan memukul pungung-punggung
kalian sebagaimana saya memukul punggung-punggung mereka.” Maka mereka
berkata, “Apa ini hukummu?” dia menjawab, “Ini adalah hukum Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud (4382) dalam Al-Hudud: Bab Menguji dengan
pukulan dan An-Nasa`i (8/66) dalam As-Sariq: Bab Menguji pencuri dengan
pukulan, dan sanadnya kuat)
Fasal
Hukum-hukum ini mengandung beberapa perkara:
Pertama: Tidak boleh memotong tangan pencuri kalau nilai barang curiannya lebih kecil dari 3 dirham atau ¼ dinar.
Kedua: Bolehnya melaknat para pelaku dosa-dosa besar secara umum, bukan
per individu. Sebagaimana beliau r telah melaknat pencuri, melaknat
pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, melaknat peminum khamar
dan yang memerasnya, serta melaknat orang yang melakukan amalan kaum
Luth (12). Beliau melarang dari melaknat Abdullah Himar yang baru saja
habis meminum khamar.
(Hadits shahih, dan takhrijnya telah berlalu pada halaman 43 (kitab asli))
Tidak ada kontradiksi antara kedua perkara ini, karena sifat yang laknat
tertuju padanya mengharuskan hal tesebut. Adapun per individu maka bisa
jadi ada perkara-perkara yang menghalangi sampainya laknat ini
kepadanya, misalnya dia mempunyai kebaikan yang menghapuskan
kesalahannya, atau taubat atau musibah-musibah yang menghapuskan dosa
atau ampunan dari Allah kepadanya.
Karenanya boleh melaknat jenis perbuatan tapi tidak boleh individunya.
Ketiga: Adanya arahan untuk menutup pintu-pintu dosa, karena beliau
mengabarkan bahwa pencurian seutas tali dan sebutir telur tidak akan
menjadikannya jera sampai tangannya dipotong.
Keempat: Memotong tangan orang yang tidak mengakui barang pinjamannya,
dan dia dinamakan sebagai pencuri menurut syariat, sebagaimana yang
telah berlalu.
Kelima: Orang yang mencuri harta yang nilainya tidak sampai menyebabkan
tangannya dipotong maka ganti ruginya dilipatgandakan dua kali. Imam
Ahmad -rahimahullah- telah menegaskan hal ini dan berkata, “Setiap orang
yang hukum potong tangan gugur darinya maka ganti ruginya
dilipatgandakan.” Telah berlalu hukum dari Nabi r dengan hukum ini pada
dua keadaan: Pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan
kambing yang ada di pengembalaannya.
Keenam: Penggabungan ta’zir dengan ganti rugi, dan ini merupakan
penggabungan antara dua hukuman: Hukuman yang bersifat materi dan fisik.
Ketujuh: Diperhitungkannya penjagaan barang. Karena beliau r
menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan yang masih ada
di pohonnya tapi beliau mewajibkan hukum ini kepada orang yang
mencurinya dari al-jarin.. Menurut Abu Hanifah, hal itu karena
kekurangan hartanya akibat dari mempercepat kerusakan menimpa harta itu,
dan dia menjadikan hal ini sebagai dalil dalam semua kejadian yang
hartanya berkurang dengan mempercepat kerusakan menimpa harta itu. Tapi
pendapat mayoritas ulama lebih tepat karena beliau r menjadikan harta
itu mempunyai tiga keadaan: (1) Keadaan yang tidak ada apa-apa padanya,
yaitu jika dia makan buah itu (di pohonnya) langsung dengan mulutnya.
(2) Keadaan yang dia harus diganti dua kali lipat dan encurinya dipukul
tanpa memotong tangannya, yaitu jika dia mengambil dan memetiknya dari
pohon itu. (3) Keadaan yang tangannya dipotong karenanya, yaitu jika dia
mencurinya dari baidar (tempat penyimpanan) nya, baik dia sudah kering
sempurna maupun belum, karena yang menjadi patokan adalah tempat dan
penjagaan, bukan kering atau masih basahnya dia. Ini ditunjukkan oleh
perbuatan beliau r yang menggugurkan hukum potong tangan dari orang yang
mencuri kambing dari pengembalaannya, dan beliau mewajibkan potong
tangan kepada orang yang mencurinya dari kandangnya, karena itu adalah
tempat penjagaannya.
Kedelapan:Penetapan adanya hukuman secara materi, yang dalam
permasalahan ini ada banyak sunnah yang tsabit dan tidak ada yang
menentangnya. Para khulafa ar-rasyidun dan selainnya dari kalangan
sahabat m telah mengamalkannya, dan yang paling sering menerapkannya
adalah Umar t.
Kesembilan: Seorang dianggap menjaga sebagai tempat penjagaan pakaian
dan alas tidurnya yang dia tidur di atasnya dimanapun dia berada, baik
dia tidur di masjid atau selainnya.
Kesepuluh: Masjid dianggap sebagai tempat penjagaan bagi barang-barang
yang biasa di simpan di situ, karena Nabi r memotong tangan orang yang
mencuri perisai darinya. Karenanya orang yang mencuri terpal, pelita dan
karpet dari masjid juga harus dipotong tangannya, dan ini adalah salah
satu dari dua pendapat dalam mazhab Ahmad dan selainnya. Adapun ulama
yang tidak mewajibkan tangannya dipotong maka dia mengatakan: Karena dia
mempunyai hak padanya, karenanya jika dia tidak punya hak maka
tangannya dipotong, misalnya kalau dia adalah kafir dzimmi.
Kesebelas: Meminta barang yang dicuri adalah syarat bolehnya memotong
tangan, karenanya jika pemiliknya memberikannya kepada pencurinya atau
menjualnya kepadanya sebelum kasusnya diangkat kepada imam, maka hukum
potong tangan pun gugur. Sebagaimana yang Nabi r sebutkan dengan tegas,
“Kenapa kamu tidak melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (Hadits shahih, telah berlalu pada halaman 47 (kitab asli))
Kedua belas: Hal itu tidak menggugurkan hukum potong tangan kalau
kasusnya sudah sampai kepada imam, dan demikian pula halnya dengan semua
hukum had yang sudah sampai kepada imam. Telah tsabit dari beliau r
akan tidak bolehnya hukum had digugurkan, dalam As-Sunan dari beliau,
“Kalau
hukum had sudah sampai kepada imam maka Allah melaknat yang memberikan
syafaat (bantuan) dan yang diberikan syafaat (dibantu).”(13)
Ketiga belas: Orang yang mencuri dari sesuatu yang dia mempunyai hak padanya, tangannya tidak dipotong.
Keempat belas: Tangan pencuri tidak dipotong kecuali setelah dia
mengakuinya sebanyak dua kali atau dengan dua orang saksi, karena
pencuri tadi mengaku di sisi beliau lalu beliau bersabda, “Darimana kamu
tahu kalau kamu mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri,” maka
barulah ketika itu beliau memotong tangannya, dan beliau tidak
memotongnya sampai beliau mengatakan kepadanya ucapan itu sebanyak dua
kali.
Kelima belas: Menganjurkan kepada pencuri agar dia tidak mengaku dan
agar dia menarik kembali pengakuannya. Tapi ini bukanlah hukum untuk
semua pencuri, bahkan di antara pencuri ada yang nanti mengaku setelah
dihukum dan diancam, sebagaimana yang akan datang insya Allah Ta’ala.
Keenam belas: wajib atas imam untuk menyembuhkannya setelah tangannya
dipotong agar dia tidak mati. Dalam sabda beliau, “Sembuhkanlah dia,”
ada dalil bahwa biaya perawatan bukan ditanggung oleh pencuri.
Ketujuh belas: Menggantung tangan pencuri di tengkuknya sebagai pelajaran baginya dan bagi orang lain yang melihatnya.
Kedelapan belas: Memukul orang yang menuduh jika nampak darinya
tanda-tanda kedustaan. Nabi r telah memberikan hukuman kepada orang yang
menuduh dan memenjarakan orang yang menuduh.
Kesembilan belas: Wajib melepaskan tertuduh jika tidak nampak darinya
sesuatu pun dari yang dituduhkan kepadanya. Dan bahwa jika penuduh ridha
kalau tertuduh dipukul: Jika hartanya ditemukan padanya (tertuduh) maka
tidak masalah, tapi jika tidak maka dia (penuduh) harus dipukul seperti
pukulan yang diberikan kepada orang yang dia tuduh kalau dia
menerimanya. Ini semua bersamaan dengan adanya tanda-tanda yang
kedustaan, sebagaimana yang An-Nu’man bin Basyir t putuskan dan beliau
mengabarkan baha itu adalah hukum Rasulullah r .
Kedua puluh: Adanya kisas dalam hal pemukulan dengan cambuk, tongkat dan semacamnya.
Fasal
Abu Daud meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah memerintahkan
untuk membunuh seorang pencuri, lalu mereka (para sahabat) berkata,
“Dia
hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian
orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan
untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya
mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang
itu didatangkan lagi untuk ketiga kalinya lalu beliau memerintahkan
untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya
mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang
itu didatangkan lagi untuk keempat kalinya lalu beliau memerintahkan
untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya
mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang
itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk
membunuhnya lalu mereka pun akhirnya membunuhnya.(14)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini:
An-Nasa`i dan selainnya tidak menshahihkan hadits ini. An-Nasa`i
berkata, “Ini adalah hadits yang mungkar, Mush’ab bin Tsabit bukanlah
rawi yang cukup kuat (laisa bil qawi).” Yang lainnya menshahihkan hadits
uni dan mengatakan kalau ini adalah hukum yang khusus berlaku kepada
laki-laki itu saja, tatkala Rasulullah r mengetahui adanya maslahat
dengan membunuhnya. Kelompok ketiga menerima hadits ini dan berpendapat
dengannya, yaitu bahwa jika seorang pencuri sudah mencuri sampai lima
kali maka dia dibunuh pada pencurian yang kelima. Di antara yang
berpendapat dengan mazhab ini adalah Abu Mush’ab dari kalangan
Al-Malikiah.
Dalam hukum ini ada keterangan bolehnya memotong keempat anggota tubuh
pencuri. Abdurazzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf: Bahwa didatangkan
kepada Nabi r seorang budak yang mencuri da dia telah didatangkan kepada
beliau sebanyak empat kali tapi beliau membiarkannya. Kemudian dia
didatangkan pada kali kelima maka beliau memotong satu tangannya,
kemudian pada kali keenam beliau memotong satu kakinya, kemudian pada
kali ketujuh beliau memotong tangannya yang lain, kemudian pada kali
kedelapan beliau memotong kakinya yang lain.(15)
Para sahabat dan para ulama setelah mereka berbeda pendapat dalam hal:
Apakah semua anggota tubuhnya boleh dipotong atau tidak? Ada dua
pendapat:
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad -dalam salah satu riwayat- berkata: Boleh
dipotong semuanya. Sedangakan Abu Hanifah dan Ahmad -dalam riwayat
kedua- berkata: Tidak boleh dipotong melebihi dari satu tangan dan satu
kaki. Dibangun di atas pendapat ini, apakah yang terlarang adalah (1)
menghilangkan fungsi anggota tubuh yang sejenis atau (2) menghilangkan
dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama? Dalam masalah ini ada dua
sisi, yang akan nampak pengaruhnya dalam masalah: Jika yang tangan yang
terpotong hanyalah yang kanan saja, atau kaki yang terpotong hanyalah
yang kiri saja. Kalau kita mengatakan: Boleh memotong semua anggota
tubuhnya maka hal ini tidak berpengaruh. Tapi jika kita mengatakan:
Tidak boleh memotong semuanya, maka pada bentuk pertama yang dipotong
adalah kaki kirinya dan pada bentuk kedua yang dipotong adalah tangan
kanannya berdasarkan kedua sebab di atas. Jika yang terpotong adalah
tangan kiri bersama kaki kanan maka dia tidak dipotong berdasarkan kedua
sebab di atas, dan jika yang dipotong adalah tangan kiri saja, maka
tangan kanannya tidak potong berdasarkan kedua sebab di atas. Dan ini
kurang tepat maka cermatilah.
Apakah pemotongan kaki kiri dibangun di atas kedua sebab di atas? Jika
kita menjadikan hilangnya manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab
maka kakinya boleh dipotong, tapi jika kita menjadikan hilangnya dua
anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama sebagai sebab maka kakinya tidak
boleh dipotong.
Jika yang terpotong hanyalah kedua tangan dan kita menjadikan hilangnya
manfaat anggota tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya kirinya
dipotong, tapi jika yang kita jadikan sebab adalah hilangnya dua anggota
tubuh pada sisi tubuh yang sama maka tidak boleh dipotong. Ini adalah
penerapan kaidah ini. Pengarang Al-Hurrar berkata dalam masalah ini,
“Tangan kanannya dipotong berdasarkan kedua riwayat. Dan harus dibedakan
antara dia dengan masalah orang yang terpotong kedua tangannya. Yang
disebutkan dalam perbedaannya: Kalau yang terpotong adalah kedua kakinya
maka dia seperti orang yang duduk, dan jika yang dipotong adalah salah
satu tangannya maka dia bida memanfaatkan tangan yang satunya untuk
makan, minum, berwudhu, istijmar dan selainya. Kalau yang terpotong
adalah kedua tangannya maka dia tidak bisa menggunakan anggota tubuhnya
kecuali kedua kakinya, karenanya jika salah satu kakinya tidak ada maka
tidak mungkin baginya untuk menggunakan satu kaki tanpa tangan. Di
antara perbedaannya: Satu tangan bisa dimanfaatkan bersamaan dengan
tidak adanya manfaat berjalan, sedangkan satu kaki tidak bisa bermanfaat
tanpa adanya manfaat menyentuh.”
____________
1. HR. Al-Bukhari (12/93, 94) dalam Al-Hudud: Bab firman Allah
Ta’ala, “Pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan-tangan
keduanya,” Muslim (1686) dalam Al-Hudud: Bab Hukum had pencurian dan
nishabnya, Malik (2/831), At-Tirmidzi (1446), Abu Daud (4385) dan
An-Nasa`i (8/76) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-
2. HR. Abu Daud (4395) dalam Al-Hudud: Bab Pemotongan tangan karena
barang pinjaman yang tidak diakui, An-Nasa`i (8/70) dalam As-Sariq: Bab
Apa yang merupakan penjagaan dan apa yang bukan dan Ahmad (2/151) dari
hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-. Diriwayatkan juga oleh Muslim
dalam Ash-Shahih (1688) (10) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dia
berkata, “Ada seorang perempuan Makhzumiah yang meminjam sebuah
perhiasan lalu dia tidak mau mengakuinya, maka Nabi r memerintahkan
untuk memaotong tangannya.”
3. Dan ini juga merupakan pendapat Ishak bin Rahawaih sebagaimana dalam Syarh As-Sunnah (10/322)
4. HR. Abu Daud (4391), At-Tirmidzi (1448), An-Nasa`i (8/89) dan Ibnu
Majah (2591) dari hadits Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhuma-.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih,” dan telah dishahihkan
oleh Ibnu hibban (1502, 1503) dan Abdul Haq mendiamkannya dalam Al-Ahkam
karyanya dan diikuti oleh Ibnu Al-Qaththan setelahnya, yang mana ini
berrati hadits ini shahih menurut keduanya.
5. HR. Al-Bukhari (12/76) dalam Al-Hudud: Bab Penegakan hukum had
kepada orang yang terpandang dan rakyat rendahan dan Muslim (1688) dari
hadits Aisyah -radhiallahu anha-.
6. HR. Abu Daud (1710, 1711, 1712, 1713, 4390), An-Nasa`i (8/65, 86)
dan Ahmad (6683, 6746) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari
kakeknya dengan sanad yang shahih. Dalam permasalahan ini ada juga
hadits dari Rafi’ bin Khadij dalam Al-Muwaththa` (2/839), At-Tirmidzi
(1449), Abu Daud (4388) dan Ibnu Majah (2593) dengan lafazh, “Tidak ada
pemotongan tangan pada buah-buahan dan katsar,” dan haditsnya shahih.
Al-katsar adalah mayang pohon korma, sedangkan al-jarin adalah tempat
buah-buahan yang dia dikeringkan di dalamnya, seperti al-baidar untuk
gandum.
7. Dia adalah seperlima dari keseluruhan harta ghanimah, yang diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, pent.
8. HR. Ibnu Majah (2590) dari hadits Ibnu Abbas, dan dalam sanadnya
ada Jubarah bin Al-Mughallis dan Hajjaj bin Tamim, dan keduanya adalah
rawi yang lemah.
9. HR. Abu Daud (4380), An-Nasa`i (8/67) dan Ibnu Majah (2597) dari
hadits Abu Umayyah Al-Makhzumi, dan dalam sanadnya ada Abu al-Mundzir
maula Abu Dzar, seorang rawi yang majhul, dan rawi lainnya tsiqah.
10. HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (4/381) dari hadits Ad-Darawardi
dari Yaziz bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari
Abu Hurairah …, lalu dia (Al-Hakim) menshahihkannya dan Adz-Dzahabi
menyetujuinya. Akan tetapi Ad-Daraquthni berkata (2/331) -setelah dia
meriwayatkan hadits ini-, “Ats-Tsauri telah meriwayatkannya dari Yazid
bin Khushaifah dari Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Nabi r
secara mursal.” Demikian pula Abu Daud meriwayatkannya dalam Al-Marasil
dari Ats-Tsauri secara mursal. Abdurrazzaq meriwayatkannya (18923) dia
berkata, “Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri secara
mursal,” dan Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkannya dalam Gharib
Al-Hadits dia berkata, “Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari
Yazid bin Khushaifah dengannya secara mursal.”
11. HR. Abu Daud (4411), At-Tirmidzi (1447), An-Nasa`i (892, 93) dan
Ibnu Majah (2587) dari hadits Fudhalah bin Ubaid, dan dalam sanadnya ada
Al-Hajjaj bin Artha`ah, seorang rawi yang sangat banyak kesalahan dan
tadlisnya, serta Abdurrahman bin Muhairiz, tidak ada yang mentautsiqnya
kecuali Ibnu Hibban.
12. Hadits tentang laknat kepada pencuri diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(12/71, 72) dan Muslim (1687). Hadits tentang laknat kepada pemakan
riba diriwayatkan oleh Al-Bukhari (10/330) dan Muslim (1597). Hadits
tentang laknat kepada peminum khamar dan yang memerasnya, diriwayatkan
oleh Ahmad (5716), Abu Daud (3674) dan Ibnu Majah (3380) dari hadits
Ibnu Umar dengan sanad yang shahih. Hadits tentang laknat kepada orang
yang melakukan amalan kaum Luth , diriwayatkan oleh Ahmad dalam
Al-Musnad (1/217, 309, 317) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban.
13. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari pengarang
As-Sunan, dia hanya diriwayatkan dalam Al-Muwaththa` (2/835) dari Rabiah
bin Abi Abdirrahman bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam …
14. HR. Abu Daud (4410) dalam Al-Hudud: Pencuri yang telah mencuri
berulang kali dan An-Nasa`i (8/90, 91) dalam As-Sariq: Bab Memotong
kedua tangan dan kedua kaki pencuri dari hadits Jabir bin Abdillah.
Dalam sanadnya ada Mush’ab bin Tsabit, seorang rawi yang lemah
sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nasa`i dan selainnya. Al-Hafizh
berkata dalam At-Talkhish, “Saya tidak mengetahui ada satu pun hadits
yang shahih dalam masalah ini.”
15. HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (18773) dan Al-Baihaqi (8/273)
dari hadits Ibnu Juraij dia berkata: Abdu Rabbih bin Abi Umayyah
mengabarkan kepadaku bahwa Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabiah
menceritakan kepadanya bahwa Nabi r … . Abdu Rabbih adalah seorang rawi
yang majhul, sedangkan riwayat Al-Harits bin Abdillah dari Nabi r adalah
mursal.
[Diterjemah dari kitab Zadul Ma'ad karya Ibnu Al-Qayyim hal. 689-692]
sumber : http://al-atsariyyah.com/hukum-islam-kepada-pencuri-koruptor-perampok-penjambret-dkk.html