Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Balada Sang Pengamen



Balada Sang Pengamen
Karangan : Mochammad Abdul Wachid
Terik matahari siang ini, sangat terasa menyengat di ubun-ubun kepalaku. Keringat membanjiri wajahku hingga terjatuh mengenai gitar yang aku mainkan. Di tambah lagi, tenggorokanku terasa kering sekali akibat suaraku yang terus kuucapkan. Tapi apa yang aku dan kawan-kawanku terima tidak sebanding dengan yang kami kerjakan. Belum cukup rasanya rupiah yang kami dapatkan hari ini untuk makan kami bertiga. Apalagi bila teringat Emak dirumah. Sudah lebih dari 2 tahun menderita sakit keras. Dan butuh biaya banyak untuk mengobatinya. Kondisi seperti ini sudah aku rasakan semenjak Bapak meninggal saat aku masih kelas 1 SMP. Sehingga mau tidak mau aku harus menjadi tulang punggung sekeluarga dan meninggalkan rutinitasku di sekolah.     

“Ayo Her, Kita cari tempat yang laen !” ajak Dito dengan wajah lelahnya. “ Bentar dulu lah, baru aja duduk.” sahutku. Dengan langkah pasti akhirnya kami pun mendekati sebuah mobil yang berhenti di perempatan. Suara serakku menambah  bisingnya suara kendaraan yang sedang menuggu lampu merah. Dengan cekatan Angga mengetuk kaca mobil ini sehabis kata terakhir pada lagu yang kunyanyikan. “ Seikhlasnya aja mas!” ucap Angga. Namun si pengemudi itu tidak bereaksi apapun. “Kalo nggak punya uang receh, nggak papa mas. Ntar kita kasih kembalian ko’!” celetuk Angga. Walau sudah begitu, tapi si pengemudi masih tak membuka kaca. “ Kami nggak ngrampok ko’,mas.” sahut Dito dengan nada kesal. “ Ya udahlah, kita ngamen ke mobil lainnya aja” ajakku dengan hati yang masih kesal. “ Kenapa ya, masih ada orang seperti itu? Apa mereka nggak ngebayangin kalau mereka di posisi kita.” Ucap Angga sambil berjalan ke mobil berikutnya. “ Ya, apa mereka pikir kita ini seperti penjahat.” Kata Dito nerusin pembicaraan. “ Ngapain masih sih kalian mikir kejadian tadi. Udah lah kalo rejeki pasti nggak kemana. Inget tu kata-kataku.” Ujarku. Kami pun ngamen di mobil berikutnya, tapi yang ini baik banget. Kami di beri uang lembaran seratus ribuan dari tangannya. “ oh, ini kebanyakan,mbak. nggak ada kembaliannya” kata Dito sambil mengembalikan uang itu. “ Oh nggak nggak apa-apa, itu rejeki kalian. Lagi pula aku terhibur dengan suara temen kalian.”  ucap si mbak pengemudi mobil. “Terima kasih ya mbak” kataku dengan muka senang dan sedikit malu.
Setelah menerima uang itu akhirnya kami bertiga pulang dengan langkah tenang. Kamipun membagi uang itu sama rata. Aku pun langsung pamitan pada Dito dan Angga dan segera pergi ke apotik untuk membelikan obat Emakku. Sedangkan mereka berdua pergi membeli nasi pecel di warung Bu Wati.
xxxx

“Assalamu alaikum…,Mak aku pulang.”teriakku.”Kamu baru pulang Her, Habis beli apa kamu?” Kata emakku melihat tas kresek terisi obat di tangan kananku.”Kamu beli obat lagi? Untuk apa ,Her? Kamu menghabiskan uang mengamenmu untuk Emak.” Sesal Emak Herman.”Jangan gitu mak. Obat ini sangat penting untuk Emak, kalau Herman nggak belikan ini untuk Emak. Itu sama saja Herman membiarkan Emak mati. Hanya Emak yang aku miliki saat ini kalau Emak mati siapa yang menemaniku dan melihatku menjadi orang sukses, Mak.” Air mataku menetes membasahi kaos hitamku. “Maafkan aku ya ,Mak. Kalau kata-kataku salah.” Ucapku dengan pelan. Emak mengangguk dan mengusap air matanya yang mengalir dengan kain jariknya. 
Aku hanya tinggal dengan Emakku. Di rumah yang sudah reyot dan hampir rubuh ini, kami menggantungkan hidup. Apa jadinya kami jika rumah ini rubuh, pasti kami tidur di kolong jembatan. Kami pernah hampir kehilangan rumah peninggalan Bapak ini. Kala itu hujan lebat dan angin kencang melanda. Untung saja yang hancur hanya gentengnya, sehingga rumah kami masih selamat. Banyak sekali kenanganku dengan rumah ini, tapi apa daya Aku dan Emak tidak bisa merawat rumah ini. Tapi bagiku hanya Emak yang menjadi harta satu-satunya.
“ Akh, Hari ini aku harus mecari uang yang lebih banyak lagi .” gumamku saat melihat Emak tidur pulas. Pagi-pagi sekali aku pergi ngamen. Seperti biasa Dito dan Angga dengan setia menemaniku.
“Kita ngamen di perumahan aja, gimana?” tanyaku pada kedua kawanku. “oke……..” mereka serempak menjawab. “ eh aku dengar penyakit Emakmu tambah parah, Her?” Tanya Dito. “ Nggak ko’ cuma kambuh entar juga pulih.” Sahutku. Kami bertiga melangkahkan kaki ke perumahan elite di kota ini. Sepi sekali di perumahan ini, yang ada hanya satpam yang berjaga di pos. Sesekali ku jumpai mobil mewah yang melintas di samping kananku. “Andai saja aku bisa membeli mobi seperti itu. Pasti Emak senang.” gumamku dalam hati.
xxxx

Akhirnya aku sampai di rumah pertamaku hari ini. “ Woi cepat nyanyi, Her, Jangan bengong aja !” suara Angga memecahkan lamunanku.”oke 1 2 3….. permisi! Ku simpan rindu di hati gelisah tak menentu……., berawal dari kita bertemu kau akan ku jaga sampai mati.”. Suaraku memecah keheningan dengan pukulan gendang Dito dan kecrikannya Angga. Seorang anak kecil keluar dari pintu rumah ini. Dan memberi kami lembaran uang seribu. Diberi uang berapapun bukan masalah bagi kami yang penting adalah mereka member kami dengan ikhlas daripada tidak memberi seperser pun. Aktifitas seperti ini kami lakukan seperti di  rumah – rumah lainnya.
Sampai pada akhirnya kaki kami melangkah pada salah satu rumah mewah bercat putih. “ Lebih keras lagi ,Her. Suara gitarmu!” suruh Angga. “Emang kenapa?” balasku. “ Tu lihat sendiri pagarnya saja tinggi begitu, apa kamu ga lihat.”. Tiba-tiba pintu pagar rumah itu terbuka. Seorang gadis cantik keluar dan tersenyum melihatku. Aku pun segera menuntaskan lagu yang kunyanyikan. Aku terdiam melihat kecantikan gadis ini. “ Ini mas..” gadis itu memberi beberapa uang seribuan kepadaku. “kayaknya kita pernah bertemu ya, mas. Tapi dimana.” Matanya memandang kearahku. “ Ooo mbak yang pernah memberikan kami uang seratus ribu dulu, kan.” jawab Angga. “ mbak yang waktu itu naik mobil di perempatan lampu merah,kan” sahut Dito. “Ouch..kalian to.” Ucap si gadis ini dengan sambil mengingat. Kami pun berkenalan padanya.”Perkenalkan nama saya Herman, ini yang gendut namanya Dito dan yang ngupil ini namanya Angga.” Sambil menujuk mereka berdua. “ Perkenalkan juga saya, Amel.” gadis itu memperkenalkan diri. “Terima kasih lo mbak sudah memberi kami uang begitu banyak.” Ucapku . “ Ooh ga papa itu memang rejeki kalian. Ga usah berterima kasih seperti itu lah.”.Kemudian terdengar suara dari dalam rumah,”Mel, Amel cepet masuk nak”. “Siapa itu mbak?” tanyaku. “ Oh itu Mamaku.” Jawab Amel .”udah dulu ya aku mau masuk di panggil sama mama.” Kata Amel kepada kami bertiga.”Sekali lagi termi kasih ya,mbak.” Ucapku sekali lagi.”Ga usah begitu lah masa’ aku di panggil ‘mbak’ kan aku masih seumuran kalian. Panggil aku Amel !”. Amel kemudian masuk ke rumah dan meninggalkan sebuah senyuman yang tak akan pernah ku lupakan.
Kami pun pergi ngamen di tempat lain. Kali ini tujuan kami di dalam bus kota. Dito yang dari tadi protes karena perutnya berteriak pun akhirnya gembira karena kami memutuskan untuk makan dulu. “ Uang cukup banyak ni. Enaknya makan apa?” kata Dito sambil menghitung uang hasil ngamen tadi. “ Gimana kalo Ayam Goreng. Kita kan jarang makan ikan.” Sahut Angga. “Jangan-jangan gimana kalo Sate Kambing, kan lebih enak.” Balas Dito. Mereka pun bingung menentukan apa yang ingin di makan. “ Kamu pilih Ayam Goreng atau Sate, Her?”Tanya Dito.” Gimana to anak ini ditanya ko’ malah diam.” Dito menepuk pundakku. “ Apa-apa.”jawabku dengan kebingungan. “Kamu ini dari tadi diam melulu mikirin apa sih?” Tanya Angga. “ga, ga’ papa kok.” Jawabku. “ Apa kamu masih mikirin Amel ya?” celetuk Angga. “ Ah ga’ kok. Aku tu lagi mikirin Emak di rumah.” Balasku dengan muka pucat. “ ah yang bener…” Dito ikut nimbrung.” Kalian apa-apan sih. Bener aku tu tadi mikirin Emak di rumah, udah makan pa belom.” Dengan sedikit marah ku menjawab.” Ya udah lah. Jangan marah gitu. Kita kan cuma bergurau. Habis wajahmu aneh gitu.” Kata Dito dengan ekspresi muka sedikit mengejek.
xxxx

Dito, Angga, dan Aku langsung menuju ke halte bus. Sembari menunggu aku teringat lagi dengan Amel. Setiap aku berjalan, duduk dan apapun saat ini, aku selalu melamunkan dia.”Apa artinya ini? Apakah aku jatuh cinta dengannya? Padahal kita baru bertemu dua kali.” gumamku dalam hati. Akhirnya muncul juga bus dengan penumpang hampir tiga per empat.”Kelihatannya penumpangnya lumayan banyak tu?” kata Angga sambil menunjuk pada Bus Margojoyo warna hijau. Aku pun mengawali mereka masuk ke dalam bus.
“ Selamat Siang para penumpang, Kami akan menghibur anda sejenak dengan lagu terheboh abad ini.” Kataku mengawali pembicaraan. ”1…2…3…4…” Angga mengaba-aba. “Kini aku tak bisa lagi………. ,Mewujudkan semua mimpi…… Karna ku tak berdaya lagi…… Ku terbaring mati. oughh…oughhh….(batuk).” “Kenapa kamu ,Her.” Angga bertanya dengan wajah panik.”g,g’ papa.”jawabku dengan pasti.”Kenapa saat aku mengucapkan kata ‘mati’ , q teringat pada Emak.”gumamku dalam hati. Tiba – tiba seorang pria berjaket hitam yang duduk di belakang berteriak “ copet…..,copet…., tolong, tolong, tas saya dicopet…”. Aku pun langsung berlari melalui pintu depan. Sekuat tenaga aku berlari mengejar copet yang berlari seperti macan. Lariku pun ku percepat lagi hingga tubuhku ini rasanya melayang. Si Copet sekarang berada 5 meter di depanku. Melihat ini aku semakin mempercepat lariku ”Dasar kau copet awas kau!”. Tek akhirnya ku raih pundak si copet ini dan ku hajar habis-habisan. “Mana tasnya! Serahkan padaku!” perintahku pada pencopet yang sudah babak belur.
Akhirnya aku kembali dengan membawa pencopet dan tas bapak tadi. “Hei… itu Herman kembali!” teriak Dito dengan menunjuk kearahku. “ Terima kasih , mas. Saya tidak tahu bagaimana nasib tas saya bila tidak ada mas.” Ujar Pria berjaket hitam. “Ach ga masalah, yang penting tasnya selamat.” timpalku.  Aku segera memberikan tas pria itu. Dengan muka yang bersinar pria itu menerima tasnya dan memeriksa isinya. “ Apa ada yang hilang, pak?” tanyaku penasaran. “ Untungnya tidak ada. Sekali lagi terima kasih. Ini ada sedikit rejeki untuk, Mas.” tangan Pria itu mengarah padaku dengan uang pecahan ratusan ribu.”Ouch ga usah,pak. Lagi pula ini saja ikhlas menolong , Bapak.” Kataku menolak.” Sudahlah hitung – hitung ini rejeki, kalau rejeki ga boleh ditolak lho.” Balas pria itu. “Iya, Her. Ga baik menolak rejeki.” Dito yang sedari tadi berdiri di dekatku. Akhirnya uang itu aku terima. “ Oh ya, aku dengar tadi suaramu merdu sekali. Kamu belajar dimana?” tanya Si Pria. “ sendiri pak, g ada yang ngajarin.” Jawabku sedikit bangga. “ ini kartu nama saya, kalau kamu butuh bantuan , saya siap membantu.” Ujar Si Pria dengan memberikan kartu namanya padaku. “ Sekali lagi terima kasih sudah mengambilkan tas saya.” Ucap Si Pria sekali lagi yang kemudian pergi menjauh.
“ Bapak Rendra, Produser musik .”  Kataku membaca kartu nama pria tadi.” Wih mungkin mimpimu menjadi penyanyi top bisa kesampaian, Her.” Dito menyahut.  “ Kelihatannya uangnya udah banyak ni, yuk kita pulang!” ajak Angga. “ Ya tu Herman udah kecapaian. Lagi pula ini udah sore.” tambah Dito. ËËËËËË

Kami pulang dengan langkah santai. “ Mengapa perasaanku g’ enak ya. Apa yang terjadi sama Emak?” tanyaku dalam hati. Sesampai di depan rumah, ku lihat Mpok Yati berlari menemuiku. “ kenapa mpok? Apa yang terjadi?” tanyaku penasaran. “ Emakmu Her, Emakmu…” kata Mpok Yati dengan tergesa. “ Pelan-pelan mpok, udah santai dulu. Memang kenapa dengan Emak.” Tanyaku sekali lagi. “ Emakmu meninggal.” Kata Mpok Yati. Hatiku rasanya tidak karuan mendengar berita Mpok Yati. Aku langsung berlari ke dalam rumah. Kulihat Emak terbujur kaku di dipan dengan di tertutup jarik. Aku menangis kala itu juga. “ Emak..kenapa Emak meninggalkan Herman sendiri..” kataku sambil mengusap air mataku. “ Sudahlah ,Her. Ikhlaskan saja Emakmu jangan kau persulit jalannya.” Ujar Dito.
Setelah kematian Emakku, aku hidup sebatang kara. Banyak hutang kepada tetangga yang  belum dibayar Emak semasa hidup. “ Mana Aku pun gelimpangan sendiri mencari uang. Siang malam aku ngamen ditemani Dito dan Angga. Namun sampai satu bulan kematian Emak, aku belum bisa membayar pada Pak Diman. Pak Diman hanya memberiku tenggang waktu satu bulan. Waktu yang sangat tidak cukup untuk mecari uang sepuluh juta. Mana mungkin aku mendapatkan uang sebayak itu. Lagi pula aku hanya seorang pengamen miskin dan tak tentu penghasilanku. 
Sore itu, setelah menghitung uang ngamen dengan Dito dan Angga. Aku putuskan untuk tak langsung pulang ke rumah. Karena ku lihat, hasil ngamenku masih kurang untuk membayar hutang pada Pak Diman. “ Dit, kalian pulang dulu ya aku masih ada urusan!”. “ Urusan apa, Her? Apa perlu aku temenin?” Dito mendekatiku dengan muka penasaran.” Ah ga’ usah lah! Kalian pulang aja, lagian kalian udah capek.” Pintaku agar mereka cepat pulang. “ Baik lah, Kami pulang dulu ya, her?” kata Angga sambil mengemasi kepingan uang recehnya dan kemudian mereka berdua pergi. Ku tunggu mereka sampai tak kelihatan di ujung belokan. “ Akhirnya mereka pulang juga.” Kelegaanku melihat mereka sudah pergi. Aku mulai berjalan mencari uang lagi. “Aku tak peduli walau berapapun uang yang aku dapatkan dari ngamen ini, yang penting aku harus berusaha untuk membayar uang itu.” gumamku sambil berjalan tak tentu mau kemana.
Tak terasa kakiku melangkah ke sebuah jalan yang sunyi. Rumah-rumah disini sangat sepi dan hampir tak ada kendaran yang melintas. Di sekitar jalan hanya ada penjual nasi goreng dan gerobaknya. Sore mulai petang. Aku pun langsung ngamen di rumah yang tertutup tirai itu. “ Mungkin saja ada orang di dalam.” ucapku dalam hati. “ Permisi…” aku mulai bernyanyi dan terus bernyanyi. Tapi, sampai laguku selesai tak ada seorangpun yang keluar. Aku pun memutuskan untuk pindah ke rumah berikutnya. Namun sampai rumah yang paling ujung tak ada seorangpun yang keluar.Malahan ada yang terang-terangan menutup pintunya. “Kenapa orang-orang tak ada yang keluar,ya?” pertanyaan itu semakin membebani pikiranku hingga aku memutuskan untuk bertanya pada seorang tukang becak yang kebetulan lewat. “ Bang-bang saya mau tanya sebentar?” Abang becak itu langsung berhenti.        “ Ada apa ya mas?” balas abang becak.”Orang-orang disini kok pada takut sama pengamen kenapa ya?” Tanya ku penasaran. “Kemarin di kompleks sini baru terjadi penculikan anak, mas. Makanya mereka takut pada orang asing.Apalagi sama, Mas. Lebih baik mas ngamen di lain aja, percuma mereka ga’ akan memberi, Mas.” Abang becak itu kemudian pergi tanpa bicara apapun.
Karena belum mendapatkan uang sepeserpun, aku putuskan untuk pindah ke tempat yang lebih ramai. “ Oh ya, kenapa ga’ ke pasar malam aja pasti banyak orang yang ngasih.”. Aku bergegas menuju alun-alun dimana ada pasar malam. Satu demi satu rupiah aku dapatkan malam itu. Tak terasa malam semakin larut. Aku segera pulang dan beristirahat.
xxxx

Sesampai di depan gang rumahku, ku lihat ada dua orang yang sedang menunggu di depan rumahku. Ku amati sekali lagi, ternyata Pak Diman dan bodyguardnya yang ada disana. Aku mencoba sembunyi di balik gapura namun mereka sempat melihatku. Aku segera kabur keluar gang. Pak Diman dan bodyguardnya mengejarku. Sampai akhirnya aku sembunyi di pohon dekat kuburan. “ Cepat sekali larinya anak itu!”kata Pak Diman sambil terengah-engah. Tak ku kira, Bodyguard Pak Diman menguntit di belakangku. Tanganku di pegangnya dengan erat.” Ini Boss sudah kutemukan!” teriak si centeng pada tuannya. “Mau lari kemana lagi kamu? haaaaa ” tawa mereka membisingkan telingamu. “ Apa mau kalian?” tanyaku pura-pura tak tau apapun. “ Apa? Kamu lupa lupa ya Herman. Satu bulan yang lalu, kamu sudah berjanji untuk melunasi hutang Emakmu, bukan!” ujar Si Bandot tua.” Tolong beri aku seminggu lagi, Tuan. Saya pasti membayar semua hutang Emakku.” Pintaku.”Apa? apa kamu bilang…. Enak saja memangnya aku ini bodoh apa. Sudah mana uang yang kau janjikan. Atau rumahmu akan aku acak-acak dan aku bakar.” Ancam Pak Diman. “Jangan tuan, itu harta satu-satunya buatku.” Aku bersujud dilututnya dan memohon supaya meringankan permintaannya.”Oke, oke aku kasih kamu waktu dua hari kalau kamu tidak bisa membayar akan aku acak-acak rumahmu dan bahkan aku juga bisa membunuhmu.” Ujar Pak Diman sambil menendang kepalaku dari kakinya.” Sudah Ron, ayo pergi!” mereka pergi meniggalkanku. Ku lihat kartu nama Pak Rendra dari dompetku. “ Mungkin ini jalanku.” Kataku sendiri dalam hati.” Mungkin dengan menyanyi aku menjadi orang sukses.” Gumamku lagi.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku pergi ke alamat yang ada di kartu nama Pak Rendra. Dengan modal sepuluh ribu, aku pergi ke rumah Pak Rendra yang jaraknya jauh sekali dari rumahku. Akhirnya aku sampai di alamat yang tertera di kartu ini. Kaki bergegas masuk ke gedung yang terlihat rapi itu, Aku bertanya pada penerima tamu”Apa Bapak Rendra ada, mbak?”tanyaku pada resepsinis.”oh ada mas silahkan masuk ke ruangan itu.” Resepsionis ini menunjukan telunjuknya pada salah satu ruangan di samping kanannya. “ terima kasih mbak.” Ucapku pada nona itu. Aku segera masuk ke ruangan yang ditunjuk. “Assalamu alaikum..”. “Waalaikum salam..”jawab seseorang dari dalam ruangan. “ Silahkan masuk!” balas orang itu lagi.” Ohhh Mas Herman ya. Ada apa mas tumben kemari?” Tanya Pak Rendra. Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku kemari pada Pak Rendra. “Oke..oke mas, saya akan membantu mas menjadi Penyanyi terkenal dan saya akan menjadi manager Mas Herman.”kata Pak Rendra padaku. “ Terima kasih Pak.” Ucapku kegirangan.”Dan soal hutang Emak Mas Herman, akan saya bantu.” Aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi, mataku hanya bisa berkaca-kaca melihat kebaikan Pak Rendra. Setelah urusanku selesai, “ Oh yang Her, Jangan lupa besok datang kesini untuk rekaman.”.”Oh tentu Pak.” aku berpamitan pada Pak Rendra.
Aku langsung bergegas pergi ke rumah si Bandot Dirman. “Assalamualakum…” Pintu rumahnya ku ketuk tiga kali. Si Bandot tua itu membukakan pintu untukku.”Rupanya kamu Herman. Mana uang yang kau janjikan.”.“Ini dengan tanganku sendiri sudah kulunasi utang Emakku padamu jadi mulai detik ini jangan ganggu kehidupanku lagi.” Ujar dengan memberikan uang yang sudah ku ambil dari sakuku.”Baik, mulai sekarang tak ada urusan antara kita.”  Balas Pak Diman. Aku segera meninggalkan rumah Pak Diman dan pulang dengan hati tenang.
Hari berikutnya aku pergi ke kantor Pak Rendra. Dengan santai aku menjalani rekaman dari pagi hingga sore. Sekitar pukul 6 malam, Aku dan kru Pak Rendra selesai melakukan rekaman.             “ Terima Kasih Pak Rendra, atas kebaikan Bapak kepada saya” Ujarku pada Pak Rendra yang tengah menghirup sebatang rokok di mulutnya.” Tak usah lah kamu bilang begitu. Lagi pula ini saya lakukan atas kebaikanmu waktu itu. Kan saya juga sudah bilang, jika kamu butuh bantuan jangan sungkan-sungkan bicara pada saya.”ujarnya. Senyum membekas di bibirnya. Kebaikan Pak Rendra memang sungguh tiada bandingannya bagiku.
Waktu demi waktu berlalu hingga akhirnya laguku menjadi terkenal dan aku menjadi penyanyi profesional. Dulu memang orang menganggapku seperti sampah, tapi sekarang mereka menjadikanku idola bagi mereka. Sungguh dunia ini berputar dengan cepat, semoga kesuksesan yang aku dapat ini tak cepat berlalu.    
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname