Selasa, 30 April 2013

KEDUDUKAN dan KONSEP BURUH dalam ISLAM


Salah satu cara untuk memperoleh kemuliaan dunia juga akhirat, manusia diperintahkan giat dan rajin bekerja dalam rangka mencari rizki yang halal dan barokah. Sebagaimana firman Allah SWT: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash[28]: 77)
Islam juga menyatakan bahwa bekerja juga merupakan salah satu
bentuk ibadah. Firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56).
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa bekerja untuk anak isterinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah.” ( HR. Bukhari).
Konsep Perburuhan dalam Islam
Disamping memerintahkan manusia untuk bekerja, Islam juga menawarkan sistem sosial yang adil dan bermartabat. Dimana salah satu sistem yang ditawarkan Islam adalah sistem perburuhan yang mencakup hubungan antara majikan, pekerja, dan pengupahan.
Islam memiliki prinsip-prinsip yang memandu dalam hubungan buruh-majikan ini. Prinsip tersebut antara lain; prinsip kesetaraan (musâwah) dan prinsip keadilan (‘adâlah). Prinsip kesetaraan menempatkan majikan dan pekerja pada kedudukan yang sama atau setara, yaitu sama-sama sebagai pihak yang langsung membutuhan dan menyerahkan apa yang dimiliki baik dalam bentuk tenaga maupun upah. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan, sebagaimana (QS. [49]: 13).
Prinsip keadilan (‘adâlah) adalah prinsip yang dirasa cukup ideal (QS. [16]: 90; [7]: 29; [16]: 90; [42]: 15). Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya (QS.[3]: 17; [2]: 177; [23]: 8; [5]: 1).
Konsep kesetaraan dan keadilan semestinya mengantarkan majikan dan pekerja kepada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan pekerja adalah upah yang memadai dan kesejahteraan, sedangkan tujuan dari majikan adalah berkembangnya usaha. Tujuan kedua belah pihak ini dapat terwujud manakala kedua belah pihak menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik.
Akan tetapi, praktik dan fakta yang ada sebagaimana kita saksikan dan rasakan sekarang ini, masih menunjukkan hubungan yang tidak seimbang antara majikan dan pekerja. Majikan, karena memiliki daya tawar yang lebih besar, sering kali memanfaatkan posisi kaum pekerja yang dianggap lemah. Sebaliknya, tidak sedikit pekerja yang tidak melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara maksimal karena merasa hak-haknya sebagai pekerja tidak terpenuhi dengan baik. Oleh karenanya konsep kesetaraan dan keadilan sebagaimana yang ditawarkan oleh Islam perlu untuk dipertimbangkan oleh pihak-pihak terkait (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam rangka membangun hubungan yang lebih harmonis antara kaum pekerja dan pemilik modal melalui Undang-undang yang bermuatan unsur kesetaraan dan keadilan.
Hubungan Kemitraan
Islam menempatkan majikan dan pekerja dalam kedudukan yang setara, keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Hubungan keduanya adalah kemitraan dalam bekerja, majikan adalah orang yang memiliki dana dan membutuhkan kerja manusia, sementara pekerja adalah pemilik tenaga yang memerlukan dana. Keduanya saling membutuhkan, karenanya harus diatur agar masing-masing dari keduanya menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan bagiannya secara benar.
Firman Allah SWT: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Al-Zuhruf [43]: 32)

Karena itu, konsep Islam tentang hubungan kerja majikan – pekerja adalah konsep penyewaan (ijârah). Konsep penyewaan meniscayakan keseimbangan antara kedua belah pihak, sebagai musta’jir (penyewa) dan mu’jir (pemberi sewa). Penyewa adalah pihak yang menyerahkan upah dan mendapatkan manfaat, sedangkan mu’jir adalah pihak yang memberikan manfaat dan mendapatkan upah.
Antara musta’jir dan mu’jir terikat perjanjian selama waktu tertentu sesuai kesepakatan. Selama waktu itu pula, kedua belah pihak menjalankan kewajiban dan menerima hak masing-masing. Dalam akad ijârah ini, musta’jir tidak dapat menguasai mu’jir, karena status mu’jir adalah mandiri, dan hanya diambil manfaatnya saja. Berbeda dengan jual beli, ketika akad selesai maka pembeli dapat menguasai sepenuhnya barang yang dibelinya.
Selain melalui konsep ijârah, hubungan kerja majikan – pekerja dapat dibangun atas konsep Islam lainnya. Di antaranya:
1. Musyârakah
Konsep musyârakah menempatkan kedua belah pihak dalam kedudukan yang sama, yaitu sama-sama menanggung profit and loss sharing (PLS). Keberadaan model kerja seperti ini diakui al-Qur’an, dalam surat 38 : ayat 24 yang artinya: “Dia (Daud) berkata “sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu”. (QS. Shad [38]: 24)
2. Mudhârabah
Mudhârabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Prinsip dari konsep mudhârabah ini adalah keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya dan kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan.
3. Al-Ju’âlah
Islam juga memperkenalkan konsep kompensasi, persenan, atau hadiah. Konsep ini dikenal dalam tradisi fikih dengan istilah ju’âlah. Ju’âlah sendiri artinya adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk dikarjakan. Konsep ju’âlah merupakan suatu formula pekerjaan menghasilkan sesuatu manfaat yang berkonsekuensi pada hadiah atau kompensasi. Seperti ketika seseorang mengatakan “Siapa yang dapat menemukan jam tangan saya yang hilang akan mendapatkan seratus ribu rupiah”.
Dengan konsepsi seperti ini, ju’âlah bukanlah sebuah perjanjian melainkan suatu konsekuensi. Karena itu ju’âlah hanya membutuhkan ijab, yaitu “siapa yang dapat menemukan”, tidak membutuhkan qabul. Qabul di sini tidak diperlukan, karena pekerjaan ini bukanlah monopoli dari seseorang, tetapi menjadi milik siapa saja yang bersedia melakukannya. Dan merekalah yang mendapatkan jam tangan yang akan mendapat hadiah atau konpensasi.
Konsep Upah dalam Islam
Dalam kaitan membangun hubungan yang harmonis antara kaum buruh dan majikan Islam juga membahas persoalan yang berkaitan dengan upah. Konsep upah ini ditemukan dalam surat al-Thalâq ayat 6 yang artinya: “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (QS. al-Thalâq [65]: 6)

Upah berasal dari kata “al-ajru” yang berarti “al-iwadlu” (ganti), upah atau imbalan. Konsep upah muncul dalam kontrak ijârah, yaitu pemilikan jasa dari seseorang ajîr (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga). Ijârah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu yang disertai dengan kompensasi. Kompensasi atas imbalan tersebut berupa al-ujrah (upah).
Upah dapat berbentuk uang, barang yang berharga, atau manfaat. Dalam praktik, ibu yang menyusui terkadang diberi upah dengan makanan, pakaian, atau yang lainnya. Dalam Islam, upah merupakan salah satu unsur ijârah, selain tiga unsur lainnya; âqid (orang yang berakad), ma’qûd ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), dan manfaat. Ketentuan pengupahan harus memenuhi syarat-syarat:
  1. Adanya kerelaan kedua belah pihak yang berakad.
  2. Manfaat yang menjadi akad harus diketahui secara sempurna sehingga tidak muncul masalah di kemudian hari.
  3. Objek akad itu sesuatu yang halal atau tidak diharamkan.
  4. Upah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. Bernilai (mutaqawwim) di sini dapat diukur dari dua aspek; syar’i dan ‘urfi.
Dalam hal besar kecilnya upah, Islam mengakui kemungkinan terjadinya dikarenakan beberapa sebab; perbedaan jenis pekerjaan, perbedaan kemampuan, keahlian, dan pendidikan, pertimbangan bukan keuangan dalam memilih pekerjaan, mobilitas tenaga yang berbeda. Pengakuan perbedaan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. al-Zukhruf/43: 32)
Selain upah, Islam juga memberi perhatian terhadap hak-hak buruh. Hak-hak buruh yang diakui dalam Islam di antaranya; hak kemerdekaan, yang meliputi kemerdekaan profesi, kemerdekaan melakukan kontrak, dan kemerdekaan berbicara; hak pembatasan jam kerja; hak mendapatkan perlindungan; hak berserikat; hak beristirahat (cuti); dan hak mendapatkan jaminan sosial.
Hak-hak buruh/pekerja ini tidak berarti mengurangi kewajibannya untuk menjalankan pekerjaan secara maksimal dan memenuhi kontrak perjanjian. Dengan begitu kita dapat memperoleh gambaran bahwa Islam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia.***
Bekerja merupakan salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai mahluk yang mulia dalam kedudukannya sebagai khalifatullah fil ardh’. Untuk membangun hubungan yang harmonis antara kaum buruh dan majikan, Islam menawarkan konsep kesetaraan (musâwah) dan keadilan (‘adâlah). Oleh karenanya konsep ini perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan (pemerintah: eksekutif, legislatif, yudikatif) melalui pembenahan Undang-undang yang lebih memiliki muatan unsur kesetaraan dan keadilan sebagaimana dijelaskan diatas.
Peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) dirayakan setiap tanggal 1 Mei oleh berbagai serikat buruh di beberapa negara. Mereka melakukan berbagai aksi turun kejalan untuk menyatakan pendapat hingga menuntut hak-hak mereka. Sebagian aksi berlangsung damai dan simpatik, namun tidak jarang aksi demontrasi tersebut berujung kerusahan, bentrok dengan aparat keamanan, juga seringkali dibarengi dengan tindakan anarki. Hal ini terjadi tidak hanya di negara lain, didalam negeri juga beberapa kali terjadi.
Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat semestinya dapat di manfaatkan dengan baik untuk menyampaikan aspirasi yang diharapkan oleh kaum pekerja, namun harus dilakukan dengan cara-cara yang baik juga. Terlebih konstitusi kita menjamin kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, dalam Islam pun hal tersebut dianggap merupakan suatu hak bagi setiap insan.
Tindakan anarki, memaksakan kehendak, apalagi sampai merugikan orang lain adalah tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum dan juga kotraproduktif dengan upaya untuk memperbaiki nasib kaum pekerja.

source http://msikepri.wordpress.com/2011/12/08/kedudukan-dan-konsep-buruh-dalam-islam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname