Balada Sang Pengamen
Terik matahari siang ini, sangat terasa
menyengat di ubun-ubun kepalaku. Keringat membanjiri wajahku hingga terjatuh
mengenai gitar yang aku mainkan. Di tambah lagi, tenggorokanku terasa kering
sekali akibat suaraku yang terus kuucapkan. Tapi apa yang aku dan kawan-kawanku
terima tidak sebanding dengan yang kami kerjakan. Belum cukup rasanya rupiah
yang kami dapatkan hari ini untuk makan kami bertiga. Apalagi bila teringat
Emak dirumah. Sudah lebih dari 2 tahun menderita sakit keras. Dan butuh biaya
banyak untuk mengobatinya. Kondisi seperti ini sudah aku rasakan semenjak Bapak
meninggal saat aku masih kelas 1 SMP. Sehingga mau tidak mau aku harus menjadi
tulang punggung sekeluarga dan meninggalkan rutinitasku di sekolah.
“Ayo
Her, Kita cari tempat yang laen !” ajak Dito dengan wajah lelahnya. “ Bentar
dulu lah, baru aja duduk.” sahutku. Dengan langkah pasti akhirnya kami pun
mendekati sebuah mobil yang berhenti di perempatan. Suara serakku menambah bisingnya suara kendaraan yang sedang menuggu
lampu merah. Dengan cekatan Angga mengetuk kaca mobil ini sehabis kata terakhir
pada lagu yang kunyanyikan. “ Seikhlasnya aja mas!” ucap Angga. Namun si pengemudi
itu tidak bereaksi apapun. “Kalo nggak punya uang receh, nggak papa mas. Ntar
kita kasih kembalian ko’!” celetuk Angga. Walau sudah begitu, tapi si pengemudi
masih tak membuka kaca. “ Kami nggak ngrampok ko’,mas.” sahut Dito dengan nada
kesal. “ Ya udahlah, kita ngamen ke mobil lainnya aja” ajakku dengan hati yang
masih kesal. “ Kenapa ya, masih ada orang seperti itu? Apa mereka nggak
ngebayangin kalau mereka di posisi kita.” Ucap Angga sambil berjalan ke mobil
berikutnya. “ Ya, apa mereka pikir kita ini seperti penjahat.” Kata Dito
nerusin pembicaraan. “ Ngapain masih sih kalian mikir kejadian tadi. Udah lah
kalo rejeki pasti nggak kemana. Inget tu kata-kataku.” Ujarku. Kami pun ngamen
di mobil berikutnya, tapi yang ini baik banget. Kami di beri uang lembaran
seratus ribuan dari tangannya. “ oh, ini kebanyakan,mbak. nggak ada
kembaliannya” kata Dito sambil mengembalikan uang itu. “ Oh nggak nggak
apa-apa, itu rejeki kalian. Lagi pula aku terhibur dengan suara temen
kalian.” ucap si mbak pengemudi mobil.
“Terima kasih ya mbak” kataku dengan muka senang dan sedikit malu.
Setelah
menerima uang itu akhirnya kami bertiga pulang dengan langkah tenang. Kamipun
membagi uang itu sama rata. Aku pun langsung pamitan pada Dito dan Angga dan
segera pergi ke apotik untuk membelikan obat Emakku. Sedangkan mereka berdua
pergi membeli nasi pecel di warung Bu Wati.
xxxx
“Assalamu
alaikum…,Mak aku pulang.”teriakku.”Kamu baru pulang Her, Habis beli apa kamu?”
Kata emakku melihat tas kresek terisi obat di tangan kananku.”Kamu beli obat
lagi? Untuk apa ,Her? Kamu menghabiskan uang mengamenmu untuk Emak.” Sesal Emak
Herman.”Jangan gitu mak. Obat ini sangat penting untuk Emak, kalau Herman nggak
belikan ini untuk Emak. Itu sama saja Herman membiarkan Emak mati. Hanya Emak
yang aku miliki saat ini kalau Emak mati siapa yang menemaniku dan melihatku
menjadi orang sukses, Mak.” Air mataku menetes membasahi kaos hitamku. “Maafkan
aku ya ,Mak. Kalau kata-kataku salah.” Ucapku dengan pelan. Emak mengangguk dan
mengusap air matanya yang mengalir dengan kain jariknya.
Aku
hanya tinggal dengan Emakku. Di rumah yang sudah reyot dan hampir rubuh ini,
kami menggantungkan hidup. Apa jadinya kami jika rumah ini rubuh, pasti kami
tidur di kolong jembatan. Kami pernah hampir kehilangan rumah peninggalan Bapak
ini. Kala itu hujan lebat dan angin kencang melanda. Untung saja yang hancur
hanya gentengnya, sehingga rumah kami masih selamat. Banyak sekali kenanganku
dengan rumah ini, tapi apa daya Aku dan Emak tidak bisa merawat rumah ini. Tapi
bagiku hanya Emak yang menjadi harta satu-satunya.
“
Akh, Hari ini aku harus mecari uang yang lebih banyak lagi .” gumamku saat
melihat Emak tidur pulas. Pagi-pagi sekali aku pergi ngamen. Seperti biasa Dito
dan Angga dengan setia menemaniku.
“Kita
ngamen di perumahan aja, gimana?” tanyaku pada kedua kawanku. “oke……..” mereka
serempak menjawab. “ eh aku dengar penyakit Emakmu tambah parah, Her?” Tanya Dito.
“ Nggak ko’ cuma kambuh entar juga pulih.” Sahutku. Kami bertiga melangkahkan
kaki ke perumahan elite di kota ini. Sepi sekali di perumahan ini, yang ada
hanya satpam yang berjaga di pos. Sesekali ku jumpai mobil mewah yang melintas
di samping kananku. “Andai saja aku bisa membeli mobi seperti itu. Pasti Emak
senang.” gumamku dalam hati.
xxxx
Akhirnya
aku sampai di rumah pertamaku hari ini. “ Woi cepat nyanyi, Her, Jangan bengong
aja !” suara Angga memecahkan lamunanku.”oke 1 2 3….. permisi! Ku simpan rindu
di hati gelisah tak menentu……., berawal dari kita bertemu kau akan ku jaga
sampai mati.”. Suaraku memecah keheningan dengan pukulan gendang Dito dan
kecrikannya Angga. Seorang anak kecil keluar dari pintu rumah ini. Dan memberi
kami lembaran uang seribu. Diberi uang berapapun bukan masalah bagi kami yang
penting adalah mereka member kami dengan ikhlas daripada tidak memberi seperser
pun. Aktifitas seperti ini kami lakukan seperti di rumah – rumah lainnya.
Sampai
pada akhirnya kaki kami melangkah pada salah satu rumah mewah bercat putih. “
Lebih keras lagi ,Her. Suara gitarmu!” suruh Angga. “Emang kenapa?” balasku. “
Tu lihat sendiri pagarnya saja tinggi begitu, apa kamu ga lihat.”. Tiba-tiba
pintu pagar rumah itu terbuka. Seorang gadis cantik keluar dan tersenyum
melihatku. Aku pun segera menuntaskan lagu yang kunyanyikan. Aku terdiam
melihat kecantikan gadis ini. “ Ini mas..” gadis itu memberi beberapa uang
seribuan kepadaku. “kayaknya kita pernah bertemu ya, mas. Tapi dimana.” Matanya
memandang kearahku. “ Ooo mbak yang pernah memberikan kami uang seratus ribu
dulu, kan.” jawab Angga. “ mbak yang waktu itu naik mobil di perempatan lampu
merah,kan” sahut Dito. “Ouch..kalian to.” Ucap si gadis ini dengan sambil
mengingat. Kami pun berkenalan padanya.”Perkenalkan nama saya Herman, ini yang
gendut namanya Dito dan yang ngupil ini namanya Angga.” Sambil menujuk mereka
berdua. “ Perkenalkan juga saya, Amel.” gadis itu memperkenalkan diri. “Terima
kasih lo mbak sudah memberi kami uang begitu banyak.” Ucapku . “ Ooh ga papa
itu memang rejeki kalian. Ga usah berterima kasih seperti itu lah.”.Kemudian
terdengar suara dari dalam rumah,”Mel, Amel cepet masuk nak”. “Siapa itu mbak?”
tanyaku. “ Oh itu Mamaku.” Jawab Amel .”udah dulu ya aku mau masuk di panggil
sama mama.” Kata Amel kepada kami bertiga.”Sekali lagi termi kasih ya,mbak.”
Ucapku sekali lagi.”Ga usah begitu lah masa’ aku di panggil ‘mbak’ kan aku
masih seumuran kalian. Panggil aku Amel !”. Amel kemudian masuk ke rumah dan
meninggalkan sebuah senyuman yang tak akan pernah ku lupakan.
Kami
pun pergi ngamen di tempat lain. Kali ini tujuan kami di dalam bus kota. Dito
yang dari tadi protes karena perutnya berteriak pun akhirnya gembira karena
kami memutuskan untuk makan dulu. “ Uang cukup banyak ni. Enaknya makan apa?”
kata Dito sambil menghitung uang hasil ngamen tadi. “ Gimana kalo Ayam Goreng.
Kita kan jarang makan ikan.” Sahut Angga. “Jangan-jangan gimana kalo Sate
Kambing, kan lebih enak.” Balas Dito. Mereka pun bingung menentukan apa yang
ingin di makan. “ Kamu pilih Ayam Goreng atau Sate, Her?”Tanya Dito.” Gimana to
anak ini ditanya ko’ malah diam.” Dito menepuk pundakku. “ Apa-apa.”jawabku
dengan kebingungan. “Kamu ini dari tadi diam melulu mikirin apa sih?” Tanya
Angga. “ga, ga’ papa kok.” Jawabku. “ Apa kamu masih mikirin Amel ya?” celetuk
Angga. “ Ah ga’ kok. Aku tu lagi mikirin Emak di rumah.” Balasku dengan muka
pucat. “ ah yang bener…” Dito ikut nimbrung.” Kalian apa-apan sih. Bener aku tu
tadi mikirin Emak di rumah, udah makan pa belom.” Dengan sedikit marah ku
menjawab.” Ya udah lah. Jangan marah gitu. Kita kan cuma bergurau. Habis
wajahmu aneh gitu.” Kata Dito dengan ekspresi muka sedikit mengejek.
xxxx
Dito,
Angga, dan Aku langsung menuju ke halte bus. Sembari menunggu aku teringat lagi
dengan Amel. Setiap aku berjalan, duduk dan apapun saat ini, aku selalu
melamunkan dia.”Apa artinya ini? Apakah aku jatuh cinta dengannya? Padahal kita
baru bertemu dua kali.” gumamku dalam hati. Akhirnya muncul juga bus dengan
penumpang hampir tiga per empat.”Kelihatannya penumpangnya lumayan banyak tu?”
kata Angga sambil menunjuk pada Bus Margojoyo warna hijau. Aku pun mengawali
mereka masuk ke dalam bus.
“
Selamat Siang para penumpang, Kami akan menghibur anda sejenak dengan lagu
terheboh abad ini.” Kataku mengawali pembicaraan. ”1…2…3…4…” Angga mengaba-aba.
“Kini aku tak bisa lagi……….
,Mewujudkan semua mimpi……
Karna ku tak berdaya lagi…… Ku terbaring mati.
oughh…oughhh….(batuk).” “Kenapa kamu ,Her.” Angga bertanya dengan wajah panik.”g,g’
papa.”jawabku dengan pasti.”Kenapa saat aku mengucapkan kata ‘mati’ , q
teringat pada Emak.”gumamku dalam hati. Tiba – tiba seorang pria berjaket hitam
yang duduk di belakang berteriak “ copet…..,copet…., tolong, tolong, tas saya
dicopet…”. Aku pun langsung berlari melalui pintu depan. Sekuat tenaga aku
berlari mengejar copet yang berlari seperti macan. Lariku pun ku percepat lagi
hingga tubuhku ini rasanya melayang. Si Copet sekarang berada 5 meter di
depanku. Melihat ini aku semakin mempercepat lariku ”Dasar kau copet awas
kau!”. Tek akhirnya ku raih pundak si copet ini dan ku hajar habis-habisan.
“Mana tasnya! Serahkan padaku!” perintahku pada pencopet yang sudah babak
belur.
Akhirnya
aku kembali dengan membawa pencopet dan tas bapak tadi. “Hei… itu Herman
kembali!” teriak Dito dengan menunjuk kearahku. “ Terima kasih , mas. Saya
tidak tahu bagaimana nasib tas saya bila tidak ada mas.” Ujar Pria berjaket
hitam. “Ach ga masalah, yang penting tasnya selamat.” timpalku. Aku segera memberikan tas pria itu. Dengan
muka yang bersinar pria itu menerima tasnya dan memeriksa isinya. “ Apa ada
yang hilang, pak?” tanyaku penasaran. “ Untungnya tidak ada. Sekali lagi terima
kasih. Ini ada sedikit rejeki untuk, Mas.” tangan Pria itu mengarah padaku
dengan uang pecahan ratusan ribu.”Ouch ga usah,pak. Lagi pula ini saja ikhlas
menolong , Bapak.” Kataku menolak.” Sudahlah hitung – hitung ini rejeki, kalau
rejeki ga boleh ditolak lho.” Balas pria itu. “Iya, Her. Ga baik menolak
rejeki.” Dito yang sedari tadi berdiri di dekatku. Akhirnya uang itu aku
terima. “ Oh ya, aku dengar tadi suaramu merdu sekali. Kamu belajar dimana?”
tanya Si Pria. “ sendiri pak, g ada yang ngajarin.” Jawabku sedikit bangga. “
ini kartu nama saya, kalau kamu butuh bantuan , saya siap membantu.” Ujar Si
Pria dengan memberikan kartu namanya padaku. “ Sekali lagi terima kasih sudah
mengambilkan tas saya.” Ucap Si Pria sekali lagi yang kemudian pergi menjauh.
“
Bapak Rendra, Produser musik .” Kataku
membaca kartu nama pria tadi.” Wih mungkin mimpimu menjadi penyanyi top bisa
kesampaian, Her.” Dito menyahut. “
Kelihatannya uangnya udah banyak ni, yuk kita pulang!” ajak Angga. “ Ya tu
Herman udah kecapaian. Lagi pula ini udah sore.” tambah Dito. ËËËËËË
Kami
pulang dengan langkah santai. “ Mengapa perasaanku g’ enak ya. Apa yang terjadi
sama Emak?” tanyaku dalam hati. Sesampai di depan rumah, ku lihat Mpok Yati
berlari menemuiku. “ kenapa mpok? Apa yang terjadi?” tanyaku penasaran. “
Emakmu Her, Emakmu…” kata Mpok Yati dengan tergesa. “ Pelan-pelan mpok, udah
santai dulu. Memang kenapa dengan Emak.” Tanyaku sekali lagi. “ Emakmu
meninggal.” Kata Mpok Yati. Hatiku rasanya tidak karuan mendengar berita Mpok
Yati. Aku langsung berlari ke dalam rumah. Kulihat Emak terbujur kaku di dipan
dengan di tertutup jarik. Aku menangis kala itu juga. “ Emak..kenapa Emak
meninggalkan Herman sendiri..” kataku sambil mengusap air mataku. “ Sudahlah
,Her. Ikhlaskan saja Emakmu jangan kau persulit jalannya.” Ujar Dito.
Setelah
kematian Emakku, aku hidup sebatang kara. Banyak hutang kepada tetangga
yang belum dibayar Emak semasa hidup. “
Mana Aku pun gelimpangan sendiri mencari uang. Siang malam aku ngamen ditemani
Dito dan Angga. Namun sampai satu bulan kematian Emak, aku belum bisa membayar
pada Pak Diman. Pak Diman hanya memberiku tenggang waktu satu bulan. Waktu yang
sangat tidak cukup untuk mecari uang sepuluh juta. Mana mungkin aku mendapatkan
uang sebayak itu. Lagi pula aku hanya seorang pengamen miskin dan tak tentu
penghasilanku.
Sore
itu, setelah menghitung uang ngamen dengan Dito dan Angga. Aku putuskan untuk
tak langsung pulang ke rumah. Karena ku lihat, hasil ngamenku masih kurang
untuk membayar hutang pada Pak Diman. “ Dit, kalian pulang dulu ya aku masih
ada urusan!”. “ Urusan apa, Her? Apa perlu aku temenin?” Dito mendekatiku
dengan muka penasaran.” Ah ga’ usah lah! Kalian pulang aja, lagian kalian udah
capek.” Pintaku agar mereka cepat pulang. “ Baik lah, Kami pulang dulu ya,
her?” kata Angga sambil mengemasi kepingan uang recehnya dan kemudian mereka
berdua pergi. Ku tunggu mereka sampai tak kelihatan di ujung belokan. “
Akhirnya mereka pulang juga.” Kelegaanku melihat mereka sudah pergi. Aku mulai
berjalan mencari uang lagi. “Aku tak peduli walau berapapun uang yang aku
dapatkan dari ngamen ini, yang penting aku harus berusaha untuk membayar uang
itu.” gumamku sambil berjalan tak tentu mau kemana.
Tak
terasa kakiku melangkah ke sebuah jalan yang sunyi. Rumah-rumah disini sangat
sepi dan hampir tak ada kendaran yang melintas. Di sekitar jalan hanya ada
penjual nasi goreng dan gerobaknya. Sore mulai petang. Aku pun langsung ngamen
di rumah yang tertutup tirai itu. “ Mungkin saja ada orang di dalam.” ucapku
dalam hati. “ Permisi…” aku mulai bernyanyi dan terus bernyanyi. Tapi, sampai
laguku selesai tak ada seorangpun yang keluar. Aku pun memutuskan untuk pindah
ke rumah berikutnya. Namun sampai rumah yang paling ujung tak ada seorangpun
yang keluar.Malahan ada yang terang-terangan menutup pintunya. “Kenapa
orang-orang tak ada yang keluar,ya?” pertanyaan itu semakin membebani pikiranku
hingga aku memutuskan untuk bertanya pada seorang tukang becak yang kebetulan
lewat. “ Bang-bang saya mau tanya sebentar?” Abang becak itu langsung
berhenti. “ Ada apa ya mas?” balas
abang becak.”Orang-orang disini kok pada takut sama pengamen kenapa ya?” Tanya
ku penasaran. “Kemarin di kompleks sini baru terjadi penculikan anak, mas.
Makanya mereka takut pada orang asing.Apalagi sama, Mas. Lebih baik mas ngamen
di lain aja, percuma mereka ga’ akan memberi, Mas.” Abang becak itu kemudian
pergi tanpa bicara apapun.
Karena
belum mendapatkan uang sepeserpun, aku putuskan untuk pindah ke tempat yang
lebih ramai. “ Oh ya, kenapa ga’ ke pasar malam aja pasti banyak orang yang
ngasih.”. Aku bergegas menuju alun-alun dimana ada pasar malam. Satu demi satu
rupiah aku dapatkan malam itu. Tak terasa malam semakin larut. Aku segera
pulang dan beristirahat.
xxxx
Sesampai
di depan gang rumahku, ku lihat ada dua orang yang sedang menunggu di depan
rumahku. Ku amati sekali lagi, ternyata Pak Diman dan bodyguardnya yang ada
disana. Aku mencoba sembunyi di balik gapura namun mereka sempat melihatku. Aku
segera kabur keluar gang. Pak Diman dan bodyguardnya mengejarku. Sampai
akhirnya aku sembunyi di pohon dekat kuburan. “ Cepat sekali larinya anak itu!”kata
Pak Diman sambil terengah-engah. Tak ku kira, Bodyguard Pak Diman menguntit di
belakangku. Tanganku di pegangnya dengan erat.” Ini Boss sudah kutemukan!”
teriak si centeng pada tuannya. “Mau lari kemana lagi kamu? haaaaa ” tawa
mereka membisingkan telingamu. “ Apa mau kalian?” tanyaku pura-pura tak tau
apapun. “ Apa? Kamu lupa lupa ya Herman. Satu bulan yang lalu, kamu sudah
berjanji untuk melunasi hutang Emakmu, bukan!” ujar Si Bandot tua.” Tolong beri
aku seminggu lagi, Tuan. Saya pasti membayar semua hutang Emakku.” Pintaku.”Apa?
apa kamu bilang…. Enak saja memangnya aku ini bodoh apa. Sudah mana uang yang
kau janjikan. Atau rumahmu akan aku acak-acak dan aku bakar.” Ancam Pak Diman.
“Jangan tuan, itu harta satu-satunya buatku.” Aku bersujud dilututnya dan
memohon supaya meringankan permintaannya.”Oke, oke aku kasih kamu waktu dua
hari kalau kamu tidak bisa membayar akan aku acak-acak rumahmu dan bahkan aku
juga bisa membunuhmu.” Ujar Pak Diman sambil menendang kepalaku dari kakinya.”
Sudah Ron, ayo pergi!” mereka pergi meniggalkanku. Ku lihat kartu nama Pak
Rendra dari dompetku. “ Mungkin ini jalanku.” Kataku sendiri dalam hati.”
Mungkin dengan menyanyi aku menjadi orang sukses.” Gumamku lagi.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali aku pergi ke alamat yang ada di kartu nama Pak
Rendra. Dengan modal sepuluh ribu, aku pergi ke rumah Pak Rendra yang jaraknya
jauh sekali dari rumahku. Akhirnya aku sampai di alamat yang tertera di kartu
ini. Kaki bergegas masuk ke gedung yang terlihat rapi itu, Aku bertanya pada
penerima tamu”Apa Bapak Rendra ada, mbak?”tanyaku pada resepsinis.”oh ada mas
silahkan masuk ke ruangan itu.” Resepsionis ini menunjukan telunjuknya pada
salah satu ruangan di samping kanannya. “ terima kasih mbak.” Ucapku pada nona
itu. Aku segera masuk ke ruangan yang ditunjuk. “Assalamu alaikum..”.
“Waalaikum salam..”jawab seseorang dari dalam ruangan. “ Silahkan masuk!” balas
orang itu lagi.” Ohhh Mas Herman ya. Ada apa mas tumben kemari?” Tanya Pak
Rendra. Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku kemari pada Pak Rendra.
“Oke..oke mas, saya akan membantu mas menjadi Penyanyi terkenal dan saya akan
menjadi manager Mas Herman.”kata Pak Rendra padaku. “ Terima kasih Pak.” Ucapku
kegirangan.”Dan soal hutang Emak Mas Herman, akan saya bantu.” Aku pun tak bisa
berkata apa-apa lagi, mataku hanya bisa berkaca-kaca melihat kebaikan Pak
Rendra. Setelah urusanku selesai, “ Oh yang Her, Jangan lupa besok datang
kesini untuk rekaman.”.”Oh tentu Pak.” aku berpamitan pada Pak Rendra.
Aku
langsung bergegas pergi ke rumah si Bandot Dirman. “Assalamualakum…” Pintu
rumahnya ku ketuk tiga kali. Si Bandot tua itu membukakan pintu
untukku.”Rupanya kamu Herman. Mana uang yang kau janjikan.”.“Ini dengan
tanganku sendiri sudah kulunasi utang Emakku padamu jadi mulai detik ini jangan
ganggu kehidupanku lagi.” Ujar dengan memberikan uang yang sudah ku ambil dari
sakuku.”Baik, mulai sekarang tak ada urusan antara kita.” Balas Pak Diman. Aku segera meninggalkan
rumah Pak Diman dan pulang dengan hati tenang.
Hari
berikutnya aku pergi ke kantor Pak Rendra. Dengan santai aku menjalani rekaman
dari pagi hingga sore. Sekitar pukul 6 malam, Aku dan kru Pak Rendra selesai
melakukan rekaman. “ Terima
Kasih Pak Rendra, atas kebaikan Bapak kepada saya” Ujarku pada Pak Rendra yang
tengah menghirup sebatang rokok di mulutnya.” Tak usah lah kamu bilang begitu.
Lagi pula ini saya lakukan atas kebaikanmu waktu itu. Kan saya juga sudah
bilang, jika kamu butuh bantuan jangan sungkan-sungkan bicara pada
saya.”ujarnya. Senyum membekas di bibirnya. Kebaikan Pak Rendra memang sungguh
tiada bandingannya bagiku.
Waktu
demi waktu berlalu hingga akhirnya laguku menjadi terkenal dan aku menjadi
penyanyi profesional. Dulu memang orang menganggapku seperti sampah, tapi
sekarang mereka menjadikanku idola bagi mereka. Sungguh dunia ini berputar
dengan cepat, semoga kesuksesan yang aku dapat ini tak cepat berlalu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar