Minggu, 06 Januari 2013

Kayanya Orang Kafir, Tanda Kebesaran Allah

Alkisah, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang raja yang memimpin sebuah negeri subur nan luas. Sang raja memimpin dengan seadil yang ia bisa. Ia cukup berprestasi, salah satunya dengan berhasil menjalin hubungan dengan kerajaan tetangga. Meskipun demikian, ada saja segelintir orang yang tidak puas dan membangkang.
Saat itu, sang raja duduk di sebuah ruangan ditemani seorang pengawalnya yang membawa dua gulungan surat. Baru ketika yakin sang raja sudah merasa nyaman dengan duduknya, pengawal itu mendekat dan menyerahkan salah satu surat.

Dengan tenang, sang raja membuka gulungan itu dan membacanya. ”Jadi, kerajaan tetangga kita membutuhkan bantuan.”
Sang pengawal hanya diam. Ia memang tidak tahu tentang isi kedua surat itu. Saat itu surat untuk raja tidaklah banyak sehingga bisa langsung disampaikan tanpa perlu seleksi.
”Bagaimana kalau kita beri saja mereka bukit yang ada di ujung utara,” kata raja kemudian.
”Tapi, Paduka, bukankah tempat itu tandus? Tidakkah Paduka merasa wilayah itu kurang pantas diberikan pada tetangga kita yang begitu baik?” Tampaknya, pengawal tersebut sekaligus merangkap sebagai penasihat.
”Tidak apa-apa, dari luar memang terlihat tandus. Tapi sebenarnya bukit itu penuh emas.” Sang raja lalu menuliskan sesuatu di kertas lain, yang mungkin adalah balasannya. Usai menulis, raja menggulung kembali surat itu beserta kertas lain yang ditulisnya dan menyodorkannya pada si pengawal.
Pengawal itu pun mendekat dan menerima kembali surat yang telah dibaca raja. Selain itu, ia juga menyodorkan gulungan surat kedua. ”Surat yang ini, berasal dari para pemberontak, Paduka.”
”Pemberontak?” Tampaknya raja merasa tidak enak dengan kata tersebut, tapi tetap saja ia membuka gulungan dengan tenang seperti sebelumnya. ”Jadi, mereka menuntut sebuah lembah di selatan. Tak apa.”
”Tapi, Paduka!” Sang pengawal terkejut. ”Mereka pemberontak, musuh Paduka.”
”Tempat itu tidak berharga, jadi kupikir tak apa mereka memilikinya.”
Pengawal itu tampaknya tidak bisa langsung setuju. Bola matanya melirik ke berbagai tempat, berpikir. Butuh beberapa detik bagi pengawal itu, sebelum ia akhirnya menyetujui keputusan raja. Ia pun menerima kembali surat yang sudah digulung bersama balasannya itu. Lalu keluar untuk menyampaikan titah sang raja.
*****
“Seandainya dunia ini di sisi Allah punya nilai setara dengan sebelah sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum seorang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Imam Al-Albani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname